BEGU DALAM KEPERCAYAAN SUKU KARO
Pdt. Israel HS Milala. STh.
I. Pendahuluan
Ketika kekristenan datang ke Tanah Karo maka injil berjumpa dengan unsur – unsur budaya lokal. Artinya injil bertemu dengan Adat, bicara dan kiniteken yang merupakan unsur pelaksana dalam budaya kkaro. Ketiga hal inilah yang menjadi dasar budaya Karo. Adapun pengertian dari ketiga hal tersebut diatas adalah :
Adat adalah dalam pemahaman orang Karo adalah sikap hidup yang telah menjadi kebiasaan dalam perikehidupan yang menjadi aturan dan norma hidup orang Karo yang sudah ada sejak dahulu kala dan diturunkan turun temurun kepada generasi berikutnya.
Bicara adalah sesuatu yang dianggap baik diturunkan (jile – jile) sebagai tambahan dalam adat, dimana setiap daerah memiliki Bicara yang berbeda – beda.
Kiniteken adalah kepercayaan terhadap adanya kekuasaan diliuar manusia yang dianggap mampu melindungi manusia dan melepaskannya dari bahaya serta memberikan berkat kepada manusia yang menyembahnya.
Unsur yang paling dekat dan bersangkutan dengan dunia adikodrati orang karo adalah begu, yaitu roh yang telah meninggal, khususnya almarhum sanak saudara (Keluarga) dan nenek moyang. Berdasarkan kepercayaan orang Karo, begu adalah arwah (tendi) orang yang sudah meninggal dan ini terlihat dari pernyataan oraong karo : roh menjadi begu,rambut menjadu ijuk, daging menjadi tanah, tulang menjadi batu, darah menjadi air, nafas menjadi angin, dari sinilah orang Karo memahami ada keterbatasan hidup dalam dunia, tetapi ada juga kelanjutan hidup setelah kematian.
Dalam pemahaman orang Karo bahwa yang sudah meninggal masih dapat dihubungi dengan perantaran dukun (guru sibaso) dan roh itu yang dikenal dengan begu terbagi dalam dua yaitun roh nenk moyang / Keluarga adalah yang baik karena dianggap dapat memberikan kebaikan dan begu ganjang dikatakan roh yang jahat karena ia akan membunuh sang pemelihara tidak memberikan persembahan atau sesajen (mere man begu). Demikianlah, konsepsep tentang begu dipahami sebagai yang baik dan yang jahat.
Dan pada umumnya orang karo masih berhubungan dengan begu hal ini terlihat dengan masih seringnya ada ritual – ritual agama asli (Pemena) dan beberapa yang berkaitan dengan ritual ini adalah :
Perumah begu (Pemanggialn roh nenek moyang ke rumah)
Cibal – cibalen (sembah – sembahan)
Erduhap i kuburen (mencuci dimuka dikubura seraya berkat)
Erpangir ku lau (berlangir atau keramas di sungai)
Dalam ritus – ritus ini biasanya dalam pelaksanaannya ada unsur pemujaan roh orang mati (begu jabu : begu keluarga). Pada dasarnya gereja melarang keras tindakan – tinadakan seperti ini, tapi entah mengapa banyak orang kristen yang masih melakukannya. Dalam hal ini kelihatannya ajaran gereja belum mampu menjawab pergumulan dan kebutuhan hidup masyarkat karo yang menjadi harapan hidup orang karo yaitu kekayaan, jabatan / pangkat, kesehatan dan keturunan, oleh kekristenan yang kurang tidak atau kurang tidak diberikan jalan konkret untuk memperoleh tampaknya orang karo kristen dalam hal ini bersikap dualistis antara kepercayaan lokal dan kekristenan.
II. Agama Asli Suku Karo
Agama asli Suku karo (Pemena) sudah hidup sejak ribuan tahun yang lalu bahkan sampai sekarang masih ada penganutnya. Menurut kepercayaan tradisional, disamping percaya adanya Tuhan pencipta langit dan bumi, termasuk segala isinya, orang Karo percaya diluar itu masih ada pencipta – pencipta lain yang membantu mereka yang disebut dengan roh – roh halus dari nenek moyang yang memberikan rahmat, menghindarkan dari bahaya – bahaya penyakit, murah rejeki dan lain – lain, sehingga dalam waktu tertentu orang harus menyajikan persembahan khusus untuk roh – roh itu .
Menurut kosmologi Batak, dunia dibagi menjadi tiga bagian yaitu dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Setiap wilayah kekuasan Dibata kaci – kaci, diperintah oleh seorang Dibata, sebagai wakilnya. Dibata datas (Allah yang diatas) disebut Butara Guru, Dibata tengah (Allah tengah) disebut Tuhan Padukah Ni Aji dan Dibata Teruh (Allah dibawah) disebut Tuhan Banua Koling. Yang menguasi dunia mahluk halus, dan diamping tiga Dibata ini, terdapat dua unsur kekuatan lain, yaitu Sinarmatari dan siberu Dayang. Dari konsep ini maka begu dirasakan sebagai sesuatu kekuatan yang cukup berperan dalam hidup manusia. orangh Karo masih melakukan hubungan dengan begu karena beberapa alasan seperti : ada aspek batin yang dirasakan ketika berhubungan dengan begu, dan adanya suatu harapan dan pergumulan yang diyakini didapatkan atau dijawab melalui hubunganitu.
III. Konsep Jiwa atau roh (tendi) dalam kepercayaan orang karo.
Orang karo mempercayai, manusia terdiri dari dua bagian yaitu tendi dan tubuh. Kesatuan dari keduanya adalah manusia itu sendiri. Tempat tendi adalah disemua bagian tubuh dan mengusai tubuh itu. Jika tendi meninggalkan tubuh maka akan terjadi penyakit atau bahkan kematian, oleh karena itu dibuatlah upacara pemanggilan tendi. Tendi dapat dibuat sebagai aku yang lain (other self), sebab ia mempunyai kehendak dan kesukanya sendiri, ada tujuh jenis dalam orang karo yaitu :
Si Jujung atau si Jujungen, merupakkan jenis tendi yang selalu ada pada manusia untuk melindunginya.
Si Galiman, adalah utusan
Si Ndakara atau si Nndakarak adalah pengambil air
Si ndakirik atau si Endakirik adalah yang memasak air
Si Berka Kondang atau si Raka – raka adalah pelanglang buana ke tempat orang – orang berpesta.
Erka Kasih atau si Tenda – tandik adalah pencuri
Si Ola Lapat adalah pemain Judi
Ketujuh sifat roh ini sebenarnya menunjukkan sifat seseorang pada orang Karo. Selama manusia masih hidup, tendi menjadi bagian dari dirinya. Namun, ketika manusia meninggal maka tendi menjadi begu.
Secara umum, begu adalah roh (tendi) orang yang sudah meninggal. Menurut orang karo, jika orang meninggal, maka roh (tendi) – nya berubah menjadi begu. Terdapat pemahaman yang ambivalen dalam orang karo mengenai begu, yaitu ditakuti namun dirindukan, karena masih memanggil roh orang mati melalui Guru si Baso sebagia mediumnya.
Ada juga pemahaman orang Karo bahwa tempat tinggal (Kuta) itu letaknya dekat dengan kuburan, disana begu – begu itu pun hidup secara non fisik, berladang, menikah dan sebagainya, serta adapula kematian yang akan dihadapi oleh begu – begu tersebut. Halnya demikian karena menurut pemahaman orang Karo, begu – begu itu masih mengalami kematiannya sebanyak tujuh kali, lalu kemudian ia akan menjadi bagian kosmos.
Sedikit agak berbeda dengan apa yang dituliskan Pdt. A. Ginting Suka, bahwa begu yang telah mengalami kematiannya tujuh kali akan berubah menjdai rumput lejo (dukut lejo). Menurut konsepsi mereka maka begu itu akan mengembara dulu selam empat hari, maka berhubung dengan ini, maka ziarah pertama yang dilakukan pun pada hari ke empat setelah penguburan, ziarah itu merupakan ziarah pertemuan dan perpisahan dengan begu yang pergi kekampungnya begu.
Hubungan yang tetap antara orang yang masih hidup dan yang telah mati tersebut dilatar belakangi oleh konsep pemahaman orang karo bahwa orang mati dagingnya saja yang mati, sementara tendinya tetap hidup menjaga dan memberi berkat kepada keluarga yang ditinggalkannya, ataui sebaliknya akan mengganggu keluarga jika tidak diberi sesembahan atau keluarga tidak mengingatnya lagi.
Berdasarkan inilah keluarga tetap memperhatikan anggota keluarga yang sudah mati, menghargainya dan malah ada yang membuatnya sebagai yang disembah (Pajuh – pajuhen) misalnya dengan membuat pagar atau galoh tempat persembahan, ketika diadakan upacara sembahan maka biasanya banyak makanan yang diantar seoperti cimpa, galuh, dan memberikan rokok.
Orang Karo yang masih menganut kepercayaan tersebut disebut dengan perbegu atau si pelbegu, sudah jelas istilah ini adalah istilah yang sangat mengerikan sebab denganistilah perbegu, berarti manusia yang kepercayaannya seperti yang di ungkapkan diatas, menggantungkan diri kepada segala tindakan begu. Apalagi arti begu sering diterjemahkan dengan setan, yang berarti menyembah setan.
Dalam religi Karo tradisional Orang Karo mengenal beraneka ragam begu, antara lain :
1. Begu jabu
Adalah begu penjaga keluarga (Jabu) yaitu dari keluarga terdekat yang telah meninggal dunia, dan yang menjadi begu ini adalah keluarga yang meninggal dala kandungan, mati belum bergigi, mati sehari dan mati perawan. Daan begu jadu ini jabu sering dinamaio pagar jabu, sebagai pelindung keluarga dari segala macam ancaman dan niat jahat serta memberi kesehatan pada semua anggota keluarga.
2. Begu Butara Guru
Adalah roh orang yang mati sejak masih dalam kandungan dan termasuk juga begu penjaga keluarga dan biasanya dibutakan ‘ Beren – beren’ atau pajuh – pajuhen (sesembahan) kepadanya agar ia mnjaga keluarga misalnya menghindarkan perselisihan atau perpecahan keluarga serta mengindarkan penyakit.
3. Begu Bicara Guru
Disebut juga begu si Kaku jabu, begu pelindung keluarga dan begu ini berasal dari orag yang mati sebelum tumbuh giginya dan begu ini juga diberi sesembahan (bere –beren) dengan menanam pisang diddekat rumah dan dipagari bambu.
4. Begu Si mate sada Wari
Adalah perkakun yang ketiga, kem atiannya bukan karena penyakit tetapi karena mati secara mengejutkan dan mendadak mati dalam satu hari karena perang, petir dan jatuh, dan kepadanya juga diberi sesembahen (bere – beren) dan biasanya dipanggil setahun sekali, dan gtujuannya adalh untuk mendapat kesehatan ( kejuah – juahen ) dan ada nilai positif dari hal ini karena biasanya dalm acara ini dilkaukan acara pur – pursage (membuat perdamain dalam keluarga).
5. Begu Tungkup
Bersal dari wanita / gadis yang meninggal dunia yang belum kawin dan tiodak kawain selama hidupnya. Sering juga disebut denagn begu ajbu dan harus dihormati supaya hjangan mengganggu.
6. Begu Biasa
Begu orang yang mate kayat – kayaten , yaitu yang mati karena kena penyakit, sedaangkan orang itu belum begitu tua. Ia tidak dapt menjadi begu jabu dan hanya menjadi begu biasa.
7. Begu Menggep
Adalah sejenis begu yang sangt menakutkan, selalu menyembunyikan diri dibawah tangga rumah atau di pondok – pondok untuk memangsa. Begu ini sangat ganas kepada wanita dan anak – anak. Sebagai penangkal maka anak – anak dan wanita mengalungkan Jerangau (sejenis Kunyit).
Menggep dalam bahasa karo artinya “ keluar dengan tiba – tiba untuk menerkam mangsanya “ dan itulah sebanya maka begu ini ditakuti orang
8. Begu mentas
Apa yang disebut dengan begu jabu adalah begu yang hanya melintas (Mentas), demikaianlah bgeu mentas ini yang hanya lewat dan tidak mengganggu.
9. Begu Sidang Bela
Adalah begu wanita yang meninggal dunia pada saat melahirkan anak , dalambahasa Karo disebut begu simate ranak (begu yang mati dalam melahirkan) Begu ini baik dalm dunia bawah dan di dunia ini sangat kejam dan benci sekali kepada wanita yang hamil dan anak – anak kecil sebagai bals dendam. Begu ini selalu menanti pada bagian hilir dari pancuran atau tempat mandi.
10. Begu Ganjang
Adalah begu yang sangat ganas dan senag sekali mencekik leher manusia . Begu ini tinggi setinggi pohon enau dan dapat berperangai wanita atau pria, bergigi tajam seperti taji. Begu ganjang ini dapat membuat orang mati seketika kalau dia mencekik leher dan yang dicekik berwarna biru dan mata orang itu terbebelalak. Tangkal begu ini adalah Jerangau atau ikat pinggang Jerangau (Sejenis Kunyit) dengan pintalan benang benalu, yaitu berwarna merah, hitam dan kuning.
11. Begu si Rudang Gara
Begu si Rudang Gara adalah begu yang bisa disuruh – suruh, misalnya menjaga ladang, kolam ikan, jemuran dan lain – lain. Apabial ada pencuri yang datang maka ia dapat mencelakai pencuri itu, misalnya meninggal atau stroke.
IV. Arti Penting Begu dalam konteks religi Suku Karo
Alam kerohanian karo masih sangat dipengaruhi oleh roh – roh kerabatnya yang tekah meninggal, menimbulkan suatu relasi antara yang hidup dengan yang sudah mati, artinya orang karo masih beranggapan begu masih mempunyai peranan dalam hidup mereka.
Orang Karo mempercayai adanya Tuhan (Dibata). Tapi ada anggapan maka Tuhan itu jauh diatas sana maka ia tidak lagi mengingat persoalan manusia, maka begu – begu dianggap dapat membantu persoalan mereka .
Begu semacam menjadi “ pengobat batin “ yang berada dalam situasi “ krisis “ dan ada anggapan jika “ berniat “ maka begu akan memenuhi kebutuhan mereka, dan oleh sebab itu maka oraqng Karo sanagt menghargai begu khusunya begu jabu (begu Keluaraga) dan selain itu ada anggapan maka begu dapat menjadi marah jika dilupakan atau tidak diperdulikan oleh angggota keluarganya yang masih hidup bahkan bisa jadi ia tidak diterima di perkampungan begu, oleh itulah biasanya keluarga memberiakn cibal – cibalen (persembahan) kepada begu , atau sewaktu – waktu melakukan upacara perumah begu (Pemanggilan roh) ke rumah.
Dengan demikian peranan begu dalam orang karo, tampaknya meliputi banyak aspek kehidupan dan pergumulan orang Karo. Kemudian apa yang terjadi jika alam kerohanian orang Karo yang erat kaitannya dengan begu – begu dimasuki oleh suatu agama besar, yaitu Kristen, yang memiliki pandangan berbeda dengan agama pemena orang Karo? Yang terjadi adalah terjadinya pergesekan antara yang baru (agama Kristen) dengan yang lama (pemena) dalam perjumpaan itu.
V. Kesimpulan dan Penutup
Apabila kepercayaa kepada begu dinilai ia banyak dapat membantu / menjawab kegelisahan manusia akan persoalan hidupnya , maka seberapa pula gereja dapat membantu / menjawab persoalan jemaatnya ?
Apabilal orang Karo merasa dekat dengan orang – orang yang telah pergi mendahului mereka, lantas, apakah kerinduan macam ini dapat ditemukan dalam persektuan di gereja ? Hal inilah yang harus dijawab gereja sehingga Injil yang diberitakan tidak brcampur dengan kepercayaan Sipemena dan gerja harus meletakkan dasar – dasar Teologis terhadap pengajaran iman Kristen dengan benar dan tegas , sehingga tidak terjadi lagi dualisme dalam kehidupan jemaat
Sebagai suatu gereja yang memiliki aturan – aturan dalam pelayanan, GBKP mempunyai Tata Gereja yang berfungsi :
Untuk mengungkapkan hakikat gereja sebagai tubuh Kristus dan mengatur sikap, tindakan, tata kehidupan dalam pelayanan dan pengakuannya selaku gereja.
Sebagai pedoman dan penuntun bagi setiap warga GBKP didalam menerima dan melaksanakan kewajiban sesuai dengan panggilan gereja, yaitu : bersaksi, bersekutu dan melayani.
Sifatnya mengikat bagi seluruh anggota, pelayan khusus dan pegawai GBKP
Maka segala sesuatu pelayan GBKP harus berdasarkan Tata Geraja GBKP, termasuk di dalamnya pengaruh Agma si Pemena, yang menjadi Konteks dimana orang Karo berada. Telah ditetapkan didalam Tata Gereja GBKP Pasal 17 yang menjelaskan hal – hal yang berkaitan tentang Kepercayaan :
a. Apabial ada anggota jemaat yang menggunakan Alkitab menjadi bahan tenung, jimat,yang bersangkutan wajib di ingatkan dan dibimbing
1. Kalau ia tidak mau menyesal akan perbuatannya tersebut, maka ia dikenakan pengembalaan khusus untuk jangka masa waktu yang ditetapkan majelis jemaat yang disetujui oleh BP. Klasis.
2. Apabila yang bersangkutan tidak bertobat, mak ia dikeluarkan dari GBKP (Pedauh la ersibar.
3. Dalam dua statyus tersebut, yang bersangkutan dapat diterima kembali menjadi anggota apabila yang bersangkutan telah menyatakan penyesalannya.
b. Seseorang Kristen yang melakukan upacara kepercayaan pribumi (Animisme ) seperti erpangir ku lau ( Berlangir ke air ), berdukun,menyembah atau memakai benda – benda khusus guna mencari keselamatannya wajib di iingatkan dan dibimbing.
1. Kalau ia tidak menyesal, maka ia dikenakan pengembalaan khusus untuk jangka waktu masa yang ditentukan Sidang Majelis Jemaat yang disetujui BP. Klasis.
2. Apabila yang bersangkutan tidak menyesali perbuatannya, maka ia dikeluarkan dari GBKP.
3. Yang bersangkutan dapat diterima kembali menjadi anggota, apabial ia menyatakan pertobatannya.
Dari sikap diatas, dapat dilihat GBKP menerapkan aturannya terhadap kepercayaan Sipemena orang Karo dan besikap tegas terhadap yang dianggap bertentangan dengan Iman Kristen.
Apa yang tertuang dalam Tata gereja GBKP sangat sesuai dengan doktrin yang dipegang GBKP, yaitu Calvinisme. Dimana Calvini menghadapi “sisa – sisa Tahyul“. Dalam Ordonnances Eccsiastiques (1541), calvin hanya menetapkan ‘ bahwa orang – orang mati harus dimakamkan dengan hormat dan pantas , sedangkan pemerintah di ajurkan untuk menginstruksikan mereka yang membawa mayat untuk tidak melakukan tahyul yang bertentangan dengan firman Allah “ yang dimaksud adalah segala doa keselamtan untuk orang mati “. Hal ini dijaga ketat, sehingga seorang wanita yang berdoa dikubur suaminya supaya ia boleh beristirahat dengan tenang , dikenakan disiplin gereja.
Sikap Calvin tersebutlah yang di adopsi GBKP. Hal ini terlihat jelas dalam liturgi penguburan GBKP yang sedikit sekali memasukkan unsur – unsur tradisional karo. Dalam perkembangan GBKP sekarang ini, meskipun masih banyak yang bertentangan dengan budaya Karo, GBKP tetap berusaha menentang kepercayaan Sipemena dan berusaha menguatkan iman Kristen didalam setiap warga jemaat sehingga tidak lagi dipengaruhi oleh kiniteken sipemena
Catatan Kuliah.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.