HOLY LAND / JERUSALEM

HOLY LAND / JERUSALEM

Istilah ‘Holy land” telah begitu terkenal di kalangan orang kristen dan para travel. Atau sering juga di pakai istilah “HOLY LAND, WISATA ROHANI, NAPAK TILAS, ZIARAH”. Sadar tidak sadar istilah ini sudah “meng-kristen” dan seakan – akan sepertinya orang kristen pun wajib “ZIARAH” kesana.

Saya memang tidak pernah kesana dan mungkin bakalan nggak pernah kesana … hehehe, yang menjadi persoalan bagi saya, kenapa kita harus memakai istilah “HOLY LAND, WISATA ROHANI, ZIARAH, NAPAK TILAS” dan ntah siapa yang kan memperbaiki istilah ini ?

Hal ini sebenarnya pernah di singgung DR. Andar Ismail dalam buku Seri Selamatnya, Orang Kristen Protestan tidak mengenal ziarah, walaupun Katolik Roma masih percaya dan memiliki konsep Tanah Suci, tapi orang Protestan tidak memilki konsep yang demikian, bagi orang Protestan semua tanah adalah kudus.

Jika demikian, bolehkah orang Kristen ke Yerusalem ? Boleh saja dan tergantung uang seseorang tetapi hanya sekedar saran sebaiknya tidak usahlah memakai istilah HOLY LAND, WISATA ROHANI, ZIARAH, NAPAK TILAS, atau ungkapan lainya, tetapi sebaiknya pakai saja istilah wisata ke Jerusalem

Yesus semasa hidupNya memang mengikuti ritual dan ibadah di ‘tempat suci’, di tempat kudus dan mengikuti ritual ibadah Yahudi. Namun kemudian Yesus mengatakan : Yoh 4 : 20 – 23 “Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.” Kata Yesus kepadanya : “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran ; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian”.

Tapi senang juga lihat orang – orang yang fhoto di “JERUSALEM” …. kwkwkwk. Selamat Malam sahabat.

Pekanbaru 27 Nov 2015.

ANTARA IBADAH NATAL DAN PESTA NATAL

ANTARA IBADAH NATAL DAN PESTA NATAL
Pdt. Israel H S Milala. STh.

Tulisan ini bisa jadi tidak enak untuk dibaca karena memang sifatnya menyoal terhadap perayan besar yang sering kita agungkan di bulan Desember. Mungkin sahabat akan berikir saya terlalu banyak berbicara yang bukan – bukan dan mungkin akan menyoal kembali maksud tulisan ini dengan berbagai argumen atau barangkali menyebabkan tidak suka kepada saya atau barangkai tidak mengucapkan lagi selamat natal. Tapi inilah pandangan saya tentang perayaan natal kita. Dan jika Tulisan ini tidak berkenan bagi Tuhan sang pemilik natal, semoga Ia mengampuni saya sebagai hamba-Nya.

PERLUKAH PERAYAAN PESTA SEPERTI INI ?
Natal … Memang sudah tak terasa dan semakin dekat perayannya. Kesibukan akan dimulai panitia natal mulai bekerja, gereja, rumah, mall, pasar – pasar mulai dihiasi pernak – pernik natal dan seperti biasanya pesta natal itu diharapkan dapat terlaksana dengan meriah hingga bahkan bisa saja sangat duniawi.

Terkadang saya berpikir ; Perlukan perayaan dan Pesta natal dimana nuansa duniawinya sangat terasa ?. Kenapa saya berkata Perlukah perayaan seperti ini ? lihatlah sekarang bagaimana gereja – gereja yang hanya mengandalkan ibadah spektakuler yang didalamnya orang – orang kristiani bersorak – sorai memuja hadirat Tuhan, tetapi lihat juga adakah perubahan yang mendalam yang membaharui setelah perayaan natal tersebut ?

MELIHAT NATAL BERSAMA NABI YESAYA.
Mari melihatlah bersama nabi Yesaya, ketika ia berkata dalam pasal 2 tentang : “apa yang terjadi di surga dan yang terjadi di bumi”. Yerusalem beria – ria dengan persembahan domba dan lembu mahal, perayaan – perayaan rutin yang sangat fantastis ? tapi ironis ! melihat semuanya itu. Yesaya mengatakan, Yang Mahakudus mencela karena jijik ; “Aku benci melihatnya! Tanganmu penuh dengan darah!” bahkan Allah bahkan menyetarakan Yehuda dengan manusia Sodom dan Gomora ! “Inilah kesalahan Sodom … kecongkakan, makanan yang berlimpah-limpah dan kesenangan hidup ada padanya dan pada anak-anaknya perempuan, tetapi ia tidak menolong orang-orang sengsara dan miskin” (Yehezkiel 16:49). Yesaya mengatakan Allah tak terkesan dengan ibadah, perayaan atau persembahan memang sangat hebat namun penuh kemunafikan, meski ada kemegahan di dalam tembok rumah ibadah, kesengsaraan dan kemiskinan masih bercokol di luar tembok Yerusalaem.

Dalam hal ini aku hendak mengatakan, lihatlah ! Sekian tahun gereja bertumbuh, bukankah pertumbuhan iman jemaat hanya jalan ditempat, bukankah semakin lama kita bersama di dalam gereja semakin banyak perseteruan, kecongkakan, keangkuhan, yang miskin tetap miskin dan yang kaya semakin kaya dan kondisi orang-orang di jalanan (masyarakat) tak banyak berubah ? Bukankah ini yang dikatakan Yesus tentang “Garam” yang tak lagi asin dan “terang” yang sudah redup nyalanya ? Atau barangkalai dengan sengaja kita melupakan pesan nabi Yesaya dalam setiap perayaan gerejawi, tidakkah kita melihat Tuhan menghardik umat-Nya yang merasa diri tengah baik – baik saja ? Jikalau bisa dan tulisan ini memberi makna kepada kita, mungkin aku juga akan berkata, marilah “Singkirkan perayaan yang penuh kemunafikan itu, mari beribadah dan merayakan natal dengan kesederhanaan, hikmad dan lebih kepada memaknai akan kehadiran Yesus di dunia. Cukup sudah kita kita berbicara tema natal yang sentralnya hanya kepada :

  • Berapa biayanya ?
  • Dari mana sumber dananya ?
  • Dimana tempatnya di hotel atau di gereja?
  • Siapa pengkhotbahnya kelas atas atau kelas bawah ?
  • Siapa artisnya lokal atau ibu kota ?
  • Apa makanannya Prasmanan atau kotak ?
  • Bagaimana dan apa kado natalnya ?
  • Apa hiburannya, band atau keyboard ?
  • Siapa yang di undang Pejabat atau pimpinan gereja ?
  • Siapa yang menjadi sponsor calon Bupati, Gubernur atau caleg ?
  • Dsb … ?

SEDIKIT TENTANG AKU DAN MAKNA NATAL
Kenapa kita sangat menghilangkan makna natal yang sesungguhnya yang berbicara berbicara tentang penebusan, tentang kesederhanaan dan kerendahan hati ? Saya masih mengingat ketika saya dulu diundang beberapa tahun lalu awal pelayanan saya dengan jadwal yang padat sekali bisa sampai 40 X dalam sebulan, tapi itu dulu … hehehe … sekarang jadwalnya semakin sedikit tapi saya senang dan sangat jujur dengan sengaja memang menolak beberapa tawaran berkhotbah yang hanya memuaskan pendengar, karena bagiku menjadi pengkhotbah terkenal bukan lagi sebagai yang utama, tapi bagaimana menyamapaikan kebenaranNya yang sesungguhnya bukan sebagai hanya lelucon. Bagi pengkhotbah begini akan beresiko tidak akan di undang dalam banyak perhelatan …. hehehehe … dan mikirlah jika ada yang mau melakukan itu.

Kembali kepada perayaan natal tadi. Dalam banyak perayaan natal, saya memperhatikan bahwa memang acara natal yang saya hadiri, bahwa perayaan itu lbih banyak kepada nuansa duniawinya, mulai dari acara natal yang penuh dengan entertaiment, spanduk dan sponsor yang beragam, ucapan selamat dari petinggi – petinggi negeri, ada juga pajangan product makanan dan minuman dan lebih heran lagi tata acara ibadah bisa jadi ada 10 lembar tetapi 6 lembar terakhir penuh foto calon – calon pejabat serta iklan … hehehehe.

Terkadang saya juga mendengar, beberapa sanjungan yang dilontarkan oleh panitia natal, majelis jemaat atau jemaat sendiri yang berkata ; “Puji Tuhan, acara Natal kita sangat meriah. Megah, mewah, paduan suaranya mantap, penampilan operanya memukau, pengkhotbahnya luar biasa, dsb”. Sebenarnya, saat mendengar perkataan itu, saya terharu dan tertunduk, jangan – jangan Tuhan malah sedih dan menangis melihat kemewahan dan kemeriahan semuanya ini yang penuh dengan selebrasi. Jangan – jangan semua yang kami lakukan di Natal ini hanya menyenangkan hati kami, bukan untuk Tuhan.

Sahabat kita telah melupakan, bukankah dalam perayaan natal seharusnya kita lebih memikirkan tentang kedatangan-Nya nanti ? karena natal bukanlah lagi berbicara tentang bayi, tentang gembala, tentang palungan. Itu dulu ketika Ia datang menjadi bayi manusia. Dan Sang Bayi Manusia itu segera akan datang lagi. Tapi bukan bayi lagi, tapi dengan segala KemuliaanNya. Mengapakah makna Natal kehilangan maknanya mengingat akan KedatanganNya nanti ? bandingaknlah dengan apa yang dikatakan dalam Matius 24 : 29 – 30 ini : “Segera sesudah siksaan pada masa itu, matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak bercahaya dan bintang-bintang akan berjatuhan dari langit dan kuasa-kuasa langit akan goncang. Pada waktu itu akan tampak tanda ANAK MANUSIA di langit dan semua bangsa di bumi akan meratap dan mereka akan melihat ANAK MANUSIA itu datang di atas awan-awan di langit dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya. Dengan firman yang tertulis dalam Matius 24 : 29 – 30 ini, masihkah kita tidak mau merenung untuk mempersiapkan diri menyongsong kedatanganNya nanti ? masihkah dalam masa penantian itu, tetap kita rayakan dengan pesta makan dan minum yang dipenuhi dengan roh konsumerisme ? Saya rasa bukan itu caranya. Roma 14 : 17 mengatakan : “Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus”.

Saya mengingat beberapa hari yang lalu Nora (istriku) berkata, Pa dalam tahun – tahun natal kita tidak pernah lo memajang pohon natal dan menghias rumah kita dengan pernak – pernik natal ? saya hanya berkata kepadanya, mama, mungkin tahun ini, kita juga tidak akan memasang pohon natal dirumah dan pernak – perniknya dan kita pun tidak akan merayakan natal dengan baju baru tapi mari kita bernatal dan merayakannya dengan hati bersyukur.

Entah kenapa memang, beberapa tahun ini, jiwaku gundah gulana dan bertanya – tanya, mengapa orang – orang berlomba sibuk menyukseskan acara natal, sementara Kristus yang dirayakan kelahiranNya itu dilupakan ? Jika boleh sekali lagi saya berkata, bukankah ketika ibadah natal itu dibangun dari kelebihan, pesta mewah, makanan mahal, harta, pakaian, jabatan, dengan acara glamour, dsb, yang ketika dibawa kedalam ibadah bahwa itu telah mencuri kemuliaan Tuhan ?

RENUNGAN MEMAHAMI NATAL YANG SESUNGGUHNYA
Bacalah ini renungan yang saya copy paste dari salah satu gereja tetangngga, yang sangat baik dalam memahami natal, semoga dapat memberikan kesadaran kepada kita yang merayakan natal tahun ini :

Yesus lahir dalam kesederhanaan. Dia adalah Raja, jadi sebenarnya Dia dapat memilih tempat dimana Dia akan dilahirkan. Dia bisa saja memilih istana yang megah dan penuh keindahan, tetapi sebaliknya Dia memilih kandang dengan bau yang mungkin saja menyengat. Dia bisa saja memilih untuk diletakkan di pembaringan yang empuk, tapi Dia justru memilih palungan. Dia bisa saja memilih sutra termahal untuk menyelimuti-Nya – ingat, Dia Raja dan Tuhan – tetapi Dia membiarkan kain lampin yang kasar dan sederhana membungkus-Nya. Saat Dia lahir, bisa saja Dia mengundang pembesar dan golongan bangsawan untuk datang melihat-Nya, tetapi Dia justru memilih para gembala sebagai tamu kehormatan!

Kelahiran Kristus itu sederhana, bahkan sangat sederhana. Namun anehnya Natal sekarang ini sudah identik dengan kemewahan. Kalau tidak mewah, bukan Natal namanya. Jika anggaran dana Natal tidak membengkak sampai berpuluh-puluh juta, Natal yang kita peringati serasa kurang afdol. Dengan dalih rohani, kita selalu berkata bahwa kita sedang menyambut kelahiran Raja di atas segala raja, sehingga segala pemborosan yang kita berikan tidak berarti sama sekali. Memang tidak pantas jika kita membuat perhitungan finansial terhadap Tuhan. Namun, apakah benar semua kemewahan itu untuk Tuhan, ataukah sebaliknya untuk memuaskan keinginan kita sendiri ? Bukankah sejujurnya kita sungkan dengan tamu undangan yang datang dalam acara Natal kita itu, sehingga mau tidak mau kita akan menyiapkan acara itu semewah mungkin ? Padahal bisa saja kita merayakan Natal dalam kesederhanaan tanpa mengurangi esensi Natal itu sendiri.

Seandainya waktu bisa diputar ulang, saya ingin kembali ke Natal yang pertama untuk menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana suasana di Betlehem. Sementara semua penduduk desa kecil itu sudah tertidur pulas, di suatu tempat, tepatnya di sebuah kandang sederhana, terlihat Yusuf dengan Maria yang sedang menggendong Sang Mesias. Serombongan gembala datang dengan ekspresi yang belum pernah terlihat sebelumnya. Suasana di sana begitu hangat, tenang, teduh dan dipenuhi kedamaian yang tak terkatakan. Natal pertama memang diwarnai dengan kedamaian.

Dua puluh abad kemudian, Natal masih diperingati. Kisahnya masih terus diceritakan. Bahkan cerita Natal itu tampaknya tidak pernah usang. Hanya sayang, kedamaian yang menyelimuti Natal pertama berangsur-angsur hilang. Kini kita memperingati Natal, tapi tak pernah merasa damai. Sebaliknya, Natal tidak lebih dari kegiatan tahunan yang membuat kita letih. Bahkan kadang kala kita memperingati dengan kegelisahan dan kegalauan dalam hati. Kehadiran Sang Mesias tidak cukup memberi rasa tenang dan rasa aman. Berita kelahiran Juruselamat tidak sanggup menghembuskan rasa damai di hati kita. Tak heran jika Natal tidak begitu berkesan dalam hidup kita. Sama sekali tidak membekas. Bahkan berlalu begitu saja.

Jika kita mau merenungkan lebih jauh, bukankah benar bahwa makna Natal dalam pengertian yang sebenarnya telah bergeser begitu jauh ? Makna Natal yang sebenarnya diganti dengan hal – hal lahiriah. Digantikan dengan pesta pora, hura-hura, dan kemewahan yang sia-sia. Dilewatkan begitu saja, bahkan sebelum kita bisa mengambil waktu sejenak untuk berefleksi. Alangkah indahnya jika kita bisa kembali ke Natal yang pertama. Merasakan Kristus dalam kesunyian, membuat jiwa kita lebih peka terhadap suara-Nya. Merasakan Kristus dalam kesederhanaan, menggugah empati kita terhadap sesama yang hidup dalam kekurangan, yang dilanda bencana atau yang sedang dirundung kesedihan. Merasakan Kristus dalam embusan damai, mengusir jiwa yang gelisah dan galau.

Amin.
Salam dari saya dan selamat menyambut Natal.
Pekanbaru 17 Nov 2015.