BERGEREJA DAN BERBUSANA (SEBUAH TEOLOGI DAN REALITAS)

BERGEREJA DAN BERBUSANA (SEBUAH TEOLOGI DAN REALITAS)  

Shalom aleikhemb’shem Adonai Yeshua Ha-Massiakh.         
Salam damai sejahtera dan cinta kasih dalam Yesus Kristus Juru Selamat kita.

“Pantaskah Berpakaian Mini dan Seksi di Gereja?”.Suatu pertanyaan yang singkat namun memiliki makna mendalam ketika diperhadapkan dengan konsep religius. Sesungguhnya cara berpakaian seseorang adalah hak mutlak orang itu sendiri, merupakan kebebasan dan bagian dari aktualisasi diri. Akan tetapi ketika diperhadapkan dengan etika sosial dan standar religius, maka cara berpakaian menjadi satu bagian penilaian yang menggambarkan keadaan atau status maupun tingkat penghargaan diri orang lain terhadap yang bersangkutan dalam suatu lingkungan pergaulan sosial.

Dari penelusuran ayat-ayat Alkitab secara elektronik ; ditemukan paling tidak ada 5 (lima) konsep pakaian dalam Alkitab:

  1. Pakaian adalah pelindung badan dan penutup tubuh;
  2. Pakaian adalah tanda pengenal – bagian dari jati diri;
  3. Pakaian adalah tanda kebesaran;
  4. Pakaian adalah symbol keadaan diri secara utuh;
  5. Pakaian adalah symbol hak azasi seseorang.

Dari kelima konsep di atas serta paparannya mengenai peradaban berpakaian bangsa Israel terlihat bahwa konsep berpakaian mengalami perubahan secara dinamis, dari yang sederhana menuju hal yang lebih kompleks sesuai masanya. Dari “ketelanjangan” menuju “ketertutupan”.

Ketika diperhadapkan dengan konteks masa kini, disaat timbul wacana tentang cara berpakaian yang seksi, mini dan terbuka, tentunya menimbulkan suatu keadaan sungsang dalam peradaban berpakaian. Karena dalam perjalanan sejarah Alkitab prosesnya dimulai dari “ketelanjangan menuju ketertutupan”, namun yang terjadi kini menyatakan bahwa telah terjadi proses menuju “ketelanjangan”.  Akan tetapi dengan satu catatan bahwa ternyata, proses “ketelanjangan” menuju “ketertutupan” lalu “ketertutupan” menuju “ketelanjangan” itu berjalan secara simpang siur, artinya perjalanannya tidak seperti suatu proses garis lurus, melainkan berjalan secara turun-naik, bolak-balik.

Ketika dikaitkan dengan kelayakan seseorang datang beribadah dari cara berpakaian, berdasarkan penelusuran terhadap ayat – ayat Alkitab, hal tersebut tidak ditemukan secara lugas.

Namun secara tersirat ada satu ayat yang dengan arif dan tegas mengatakan bahwa beribadah kepada Allah harus menurut cara yang berkenan kepadaNya, yaitu dengan hormat dan takut (Ibrani 12:28). Dalam hal ini Allah lebih melihat hati manusia yang datang kepadaNya untuk beribadah karena Allah adalah Roh (Yohanes 3 : 23 – 24). Kalimat hormat dan takut ini lebih mengarah kepada persepsi pribadi secara subjektif dan terlepas dari cara berpakaian. Ditambah lagi dalam ayat lain bahwa Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya (Yakobus 1:26). Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang (Markus 7 : 23).

Paparan diatas bukan berarti kemudian seolah memberi lampu hijau terhadap kebebasan berpakaian yang berlebihan. Karena ketika didalami konsep ajaran etis Alkitab dapat dipahami dengan jelas bahwa, pe-mahaman dari hati yang keliru menimbulkan “dosa” bagi orang itu sendiri. Mengacu pada Markus 7 : 23, Bahwa hal jahat pertama-tama timbul dari dalam hati dan menajiskan orang; Maka ketika seseorang berpakaian dengan alasan untuk menarik perhatian orang lain dengan cara “mengeksploitasi” bagian tubuhnya, apalagi ketika beribadah maka hal itu adalah sebuah perbuatan dosa. Demikian pula dengan kenyataan bahwa mungkin ia berpakaian yang tidak terbuka; “tertutup” dan “tidak mengumbar nafsu” tetapi menonjolkan kesombongan, pun sebuah perbuatan dosa. Inilah sebuah realita etis alkitab yang menegaskan bahwa sangat tipis batasan antara perbuatan dosa dan yang bukan perbuatan dosa, batasannya berasal dari hati.

Dalam teologi realitas yang sedang berkembang, cara berpakaian yang ada, baik itu sifatnya tertutup maupun terbuka merupakan sebuah kenyataan yang sebenarnya. Pantas tidaknya seseorang menggunakan pakaian itu tergantung dari “rasa” si pemakai dan pengetahuan si pemakai, etika bersosial, kebenaran kolektif dari lingkungan dimana individu berada serta situasi lingkungan secara alamiah.

Pakaian adalah hasil karya manusia. Manusia mendapat pengetahuan untuk membuat pakaian karena Allah mengajarkannya (Kej. 3 : 21). Jenis-jenis pakaian saat ini, yang indah, seksi, sopan, nyaman serta apapun sebutannya adalah bagian dari aktualisasi diri yang menyatakan keberadaan manusia sebagaimana dia ada dalam pengaruh modernisasi dan perubahan sosial. Dan, control Iman serta kenyataan Alkitabiah adalah suatu hal yang penting, karena Iman menuntun pengetahuan; Pengetahuan membawa Iman pada kenyataan. Alkitab member jalan untuk menyadari bahwa potensi diri yang disebut kehendak hatilah penentu aksi dan reaksi dalam suatu lingkungan social, maka jagalah keinginan hati.

Dalam kehidupan bergereja kita memerlukan etika, karena etika membantu kita memantapkan dasar iman, serta membantu agar tidak menutup diri dalam menghadapi dimensi masyarakat (baca: individu lain) dengan segala kompleksitasnya. Intinya dalam setiap berperilaku kita hendaknya mengedepankan etika dan moral, karena menurut Alkitab Iman tanpa perbuatan adalah mati. (Yakobus 2 : 26).

Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut. (Yakobus 1 : 14 15).       

CP. Sumber yang terlupakan, terimakasih kepada penulis, tulisan ini dapat memberikan pencerahan.

PKU 07 Agst 2016.

Tinggalkan komentar