GEREJA DAN DIAKONIA

Salah satu tugas pokok gereja ialah berdiakonia, yakni memberikan pelayanan sosial berupa bantuan karitatif atau juga bersifat transformative, yaitu usaha menanggulangi penyebab penderitaan.

Tugas ini bukanlah sebuah kewajiban melainkan hakekat gereja yang hidup di dalam panggilan Allah sebagai agen Kerajaan Allah. Oleh itu gereja selayaknya menghadirkan Kerajaan Allah di muka bumi.

Kesadaran ini pada gilirannya akan menggerakkan pelayanan secara praktis ; seperti yang dilakukan oleh lembaga – lembaga penginjilan pada masa lalu, berupa pendirian sekolah, rumah sakit, penampungan penderita kusta, panti asuhan dan juga penyuluhan pertanian sebagai upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat yang dilayani.

Dalam bentuknya pelayanan diakoni bisa saja serupa dengan aksi – aksi philantropik-humanis, yaitu usaha meringankan beban sesama yang berangkat dari rasa kemanusiaan. Kegiatan philantropik – humanistis ini bisa saja dilakukan oleh siapa saja yang sadar akan keberadaan sesamanya. Seorang beragama atau tidak dapat saja melakukan hal itu.

Namun harus sangat dijaga bahwa diakoni tidak berangkat dari rasa kemanusiaan, tetapi melampaui kemanusiaan itu sendiri. Diakoni (Yunani) yang secara etimologis berarti pelayan meja ; atau Shamas (Ibrani) yang berarti pembantu diberi makan teologis, bahwa setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi pelayan, pembantu, diaken bagi sesama dan juga ciptaan lainnya.

Berdiakoni ialah usaha untuk meniru Kristus sendiri, atau pada sisi lain sebagai ungkapan iman bahwa memberikan pertolongan terhadap sesame manusia yang paling kecil sekalipun sama dengan memberi pertolongan terhadap Tuhan sendiri (Matius 25).

Gereja purba menerapkannya langsung dengan mengangkat petugas yang berjumlah tujuh orang untuk memelihara para janda dan anak yatim – piatu yang berada di lingkup jemaat awal itu. Para rasul yang sibuk dengan tugas pekabaan injil harus dibantu oleh para petugas ini sehingga tugas marturia sejalan dengan tugas diakonia.

Berdasarkan I Yohanes 4 : 7 – 21 setiap orang Kristen dipanggil untuk menampakkan kasih, berupa kasih agave sebagai bukti bahwa Allah hadir di mana kasih dipraktekkan (ubi caritas et amor ubi caritas Deus ibi est). Tidak mungkin seorang mengasihi dan melayani Allah bila saudaranya sendiri yang berada di depan matanya tidak ia kasihi dan layani. Perbuatan dan pengakuan seperti itu hanya sebuah tipuan terhadap Allah dan diri sendiri.

Setiap orang Kristen juga dipanggil untuk menjadi diaken, berarti setiap orang adalah diaken fungsional dalam arti sekalipun tidak diangkat sebagai menduduki jabatan diaken dalam struktur oranisasi gereja namun seseorang itu adalah diaken pada dirinya sendiri sejauh dia mengaku sebagai Kristen.

Pemahaman seperti ini tentunya akan sangat mempengaruhi pola tindak pelayanan orang Kristen dan bagaimana kesiap – sediaannya memberikan pertolongan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Apakah dia seorang Imam atau seorang Lewi atau seorang Samaria tergantung pemahaman seseorang bagaimana diakoni itu harus dijalankan.

Keselamatan yang dibawa Yesus tidak hanya mengenai hati manusia (Penyelamatan jiwa – jiwa) melainkan keselamtan manusia seutuhnya. Khabar baik yang yang di Khotbahkan Yesus di Nazaret (Lukas 4 : 18 -19) menjelaskan kedatanganNya ke dunia tidak cukup di artikan rohani semata tetapi juga jasmani. Khabar tentang pembebasan simiskin, buta, tertindas, tertawan baik secara arti rohani dan kenyataannya.

Dalam pekerjaanNya Yesus memberitakan kedatangan kerajaan sorga melalui khotbah dan pengajaranNya dan juga melalui perbuatanNya dan Ia mengatakan jangan kuatir tentang kebutuhan sehari – hari (Mat 6 : 25 – 34 ) tetapi Dia juga menyuruh murid – muridNya untuk memberi makan orang banyak (Mrk 6 : 37).

Yesus menjajikan hidup yang kekal bagi orang tekun dalam iman, namun Ia juga menyembuhkan orang yang sakit, bahkan menghidupkan orang yang sudah mati, semuannya Ia lakukan untuk menghadirkan “tanda – tanda kehadiran kerajaan Allah“ di dunia.

Sejak dahulu kala Diakonia dilihat sebagai pelayan kasih (Charity) seperti yang kita lihat dalam Kisah Para Rasul 6 yang menunjukkan bidang kebutuhan kehidupan sehari – hari serta ajakan rasul Paulus kepada jemaat Korintus untuk mengambil bagian dalam hal pelayanan kasih bagi jemaat di Judea agar ada keseimbangan (II Kor 8 : 13 – 15).

Melalui pemahaman diatas maka gereja juga harus bertanggung jawab terhadap bidang kehidupan secara jasmani, beberapa hal yang perlu dilakukan gereja adalah :

  • Yesus menyembuhkan orang sakit, maka gereja juga harus mengunjungi orang sakit dan berusaha mendirikan Rumah sakit/Poliklinik sesuai dengan kesanggupan gereja tersebut serta mengadakan pastoral terhadap orang sakit dan pendampingan kepada orang yang berpenyakit yang tidak bisa disembuhkan, dan mengadakan kunjungan pastoral terhadap para janda, orang tua lanjut usia dan mereka yang terpenjara, dan dalam bidang karikatif tidak mengabaikan mereka yang terkena bencana alam (Kebakaran, gempa, banjir) dan korban kekerasan.
  • Banyaknya lembaga khusus yang profesional yang melayani pelayanan kasih (termasuk pemerintah) maka sering kali tugas Diakonal diabaikan oleh gereja, namun kelirulah jika gereja membebankan tugas Pelayanan Diakonal kepada instansi pemerintah atau lembaga – lembaga kemanusian karena sebenarnya gereja harus lebih berperan dalam hal itu. J. Moltman mengatakan “Pendelegasian diakonia kepada lembaga – lembaga profesional dengan tenaga – tenaga bayaran akan membuat jemaat sakit dalam hal Diakonia maka Moltman menekankan “Jemaat perlu di di – dakoniakan dan diakonia perlu di jemaatkan“

Selamat PJJ dan Selamat ber – Diakonia.
PKU. Selasa 26 Okt 2016.

BUNGKUS ATAU ISI (EMHA AINUN NADJIB)

BUNGKUS ATAU ISIemha-ainun-nadjib

(Ini adalah salah satu tulisan Emha Ainun Nadjib yang saya suka dan semoga dapat menginspirasi kehidupan kita)

Hidup akan sangat melelahkan, sia-sia dan menjemukan bila Anda hanya menguras pikiran untuk mengurus Bungkusnya saja dan mengabaikan ISI – nya. Maka, bedakanlah apa itu “BUNGKUS” – nya dan apa itu “ISI” – nya.

“Rumah yang indah” hanya bungkusnya,
“Keluarga bahagia” itu isinya.

“Pesta pernikahan” hanya bungkusnya,
“Cinta kasih, Pengertian, dan Tanggung jawab” itu isinya.

“Ranjang mewah” hanya bungkusnya,
“Tidur nyenyak” itu isinya.

“Kekayaan” itu hanya bungkusnya,
“Hati yang gembira” itu isinya.

“Makan enak” hanya bungkusnya,
“Gizi, energi, dan sehat” itu isinya.

“Kecantikan dan Ketampanan” hanya bungkusnya;
“Kepribadian dan Hati” itu isinya.

“Bicara” itu hanya bungkusnya,
“Kenyataan” itu isinya.

“Buku” hanya bungkusnya;
“Pengetahuan” itu isinya.

“Jabatan” hanya bungkusnya,
“Pengabdian dan pelayanan” itu isinya.

“Pergi ke tempat ibadah” itu bungkusnya,
“Melakukan Ajaran Agama” itu isinya.

“Kharisma” hanya bungkusnya,
“Karakter” itu isinya.

Jadi yg terpenting adalah isinya bukan bungkusnya.

PKU. Rabu 26 Okt 2016

BERAGAMA YANG MEMBAHAGIAKAN TUHAN

BERAGAMA YANG MEMBAHAGIAKAN TUHAN

(Tulisan ini hanya sekedar bahan pemikiran saya, melihat bagaimana orang Indonesia beragama saat ini, tidak bernuansa politik hanya sebagai kaum awam hanya menuliskan yang terpikir olehnya)

“Negara besar harus berhati besar”, tidak dipungkiri bahwa Indonesia memang adalah Negara yang besar namun sayang sekali bahwa jiwa kebesaran itu tidak bertumbuh pada orang – orang ya502f2e3e91f24ng memeluk agama di Indonesia. Gus Dur seorang tokoh demokrasi Indonesia dan sebagai bapanya “Pluralis” Indonesia  pernah berkata bahwa “Keberagaman yang ada di Indonesia harus disykurui sebagai rahmat yang diberikan oleh Tuhan dan jika menolak keberagaman sama dengan menolak pemberian Ilahi”. Artinya Gus Dur sangat menghargai bahwa perbedaan itu adalah sebua “kodrat” yang harus di terima bangsa Indonesia. Disisi lain Gus Dur juga sangat mendambakan terciptanya “Komunitas Merdeka” dalam masyarakat etnoreligius Indonesia yang heterogen.

Melihat geliat perpolitikan Indonesia saat ini, dan khususnya fenomena Ahok yang baru – baru ini disebut sebagai penista agama dan bahkan mungkin dulu banyak yang telah disebut sebagai penista agama, saya melihat bahwa apa yang dulu di cita – citakan Presiden RI ke 6, Alm. Gus Dur, dengan apa yang sebut “Komunitas Merdeka” ternyata masih sangat jauh dari yang di harapkan. Lagi – lagi agama masih menjadi komsumsi “bisnis “ politik bangsa ini, dan sangat menyedihkan bahwa kaum – kaum beragama memanfaatkan agama sebagai kekuatan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ya, memang menyedihkan dimana segelintir orang  yang masih kurang memahami makna dari pengertian agama. Melihat geliat perpolitikan Indonesia saat ini seperti yang saya sebutkan diatas hanya karena fenomena Ahok dan banyaknya keributan atas nama agama, ada beberapa pemikiran yang muncul di dalam pikiran saya dan mungkin ini adalah pemikiran yang boleh dikatakan “miring” karena saya sendiri sebagai seorang Pendeta tentu memahami pemahaman teologia dan memegang prinsip – prinsip kepercayaan yang saya pahami.

Dalam tulisan ini saya sendiri ingin melepaskan “ke – egoisan” saya tentang Tuhan, sehingga saya sendiri tidak mau dikung – kung oleh pemikiran “ke – egoisan ber  – Tuhan”, adapun beberapa pikiran saya hendak saya tuliskan antara lain :

  • Tidakkah bisa kita berkat, memahami bersama dan menjadikan Tuhan itu menjadi “Tuhan Bersama” ? Sehingga kita tidak perlu ribut  soal “Tuhan”, klaim – mengkalim bahwa agama kita adalah pemilik Tuhan yang sah ? Bukankah Tuhan yang kita bicarakan itu adalah Tuhan sebagai pemilik alam semesta, penguasa jagat raya, Tuhan segala mahluk hidup termasuk manusia tanpa melihat latar belakang agama dan suku – bangsa ? di dalam pemahaman kita bahwa kita selalu diajarkan dan menyebut Tuhan itu “pencipta dari segala yang ada, maha kuasa, maha  benar, maha adil dan maha kasih”. Jika itu yang diajarkan dan yang kita pahami, maka seharusnya kita sebagai umat bergama menyadari bahwa Tuhan akan nanti, saat ini dan kelak akan melakukan kebenaranNya, keadilanNya serta akan memberikan kasihNya dengan kebenaranNya, keadilanNya dengan kasihNya yang jauh dari pemikiran orang beragama, bahkan bisa jadi Ia Tuhan, mungkin akan berlaku hal yang sama sama kepada orang yang tidak beragama sekalipun, karena Ia memang maha benar, maha adil dan maha kasih, dan saya mulai yakin bahwa Tuhan akan berlaku demikian karena Ia memang Tuhan.
  • Melihat keadaan sekarang dimana masih banyak persoalan kemanusian di negeri ini oleh karena mengatasnamakan agama, apakah kita masih perlu beragama ? bukankah yang kita perlukan adalah Tuhan sebagai sumber dari hikmat dan bijaksana kita ?. Saya meyakini Kristus adalah Tuhan, tetapi saya meyakini bahwa Ia tidak beragama Kristen dan saya mulai berpikir jangan – janga juga orang Kristen hanya berpikir bahwa Tuhan yang disebut dengan Kristus itu adalah miliknya sendiri. Sehingga orang Kristen juga mati – matian membela Tuhannya ? adakah Tuhan perlu dibela umat manusia, saya rasa kita tidak perlu membela Tuhan. Kita memerlukan Tuhan sebagai guru dan teladan kita di dalam kemanusian kita dan jika bicara soal neraka dan surga biarlah semua itu kita serahkan saja kepada Tuhan dan yang penting bagi kita adalah bagaimana kita dapat hidup bersama dengan damai di bumi diciptaan Tuhan.
  • Kita juga harus menyadari bahwa di dunia ini ada ratusan juta dan bahan milyaran manusia yang tidak mengenal “agama formal”. Ada ratusan juta pengikut ateisme, agnotisisme atau “sekularisme”. Perhatikanlah bahwa ratusan juta manusia itu bisa hidup dengan baik “sehat walafiat”, bahkan banyak sekali manusia yang tidak beragama di dunia ini tetapi hidupnya sungguh mulia dengan mulia dengan mendarmakan dirinya untuk umat manusia dan kemanusiaan tanpa harus ada embel – embel agama. Jika kita menyadari hal tersebut, kenapa kita yang beragama dan yang mengetahui tentang Tuhan masih suka rebut hanya oleh karena yang namanya agama ?
  • Apalah artinya beragama dan mengaku – aku sebagai “manusia agamis”, kalau ternyata perilaku individual dan social kita tidak baik, yang terkadang sangat jauh dari norma – norma dan nilai – nilai kemanusiaan, berlaku bengis, “tidak agamis” dan tidak manusiawi. Oleh itu hendaknya umat beragama menyadari bahwa beragama itu seharusnya mampu mengantarkan pemeluknya menjadi “manusia sejati” yang ramah – toleran dengan sesama umat manusia dan alam semesta. Agama hadir, untuk membantu umat manusia agar menjadi individu – individu yang sempurna atau “manusia sejati”. Apalah artinya beragama, jika hanya menurunkan derajat dan kualitas diri kita dari “manusia penuh” menjadi “setengah manusia”.

Sebagai penutup saya ingin berkata, marilah beragama untuk membahagiakan kehidupan kita bersama, seperti pengertian agama itu sendiri “tidak – kacau”. Watak agama itu “antroposentris” (berpusat pada manusia) bukan “teosentris” (berpusat pada Tuhan). Dengan kata lain, manusialah, bukan Tuhan, yang menjadi sasaran dan tujuan utama sebuah agama karena jelas Tuhan tidak membutuhkan agama. Karena manusialah, agama itu ada atau diadakan, agama hadir atau dihadirkan di bumi untuk menata kehidupan manusia supaya tidak kacau, dan sekali lagi semoga Tuhan berbahagia dengan cara kita beragama dan semoga damaiNya Tuhan mendiami seluruh umat manusia, terciptanya “Komunitas Merdeka” di bumi tercinta Indonsesia oleh karena bangsa kita adalah bangsa yang besar dan berjiwa besar. Semoga Tuhan berbahagia dengan agama kita dan dengan cara kita beragama.

Salam Damai Indonesiaku.

Pekanbaru. Minggu 16 Oktober 2016.

 

 

SI – IZEBEL YANG BIKIN “ZEBEL”. I Raja – raja 21 : 7 – 14

SI – IZEBEL YANG BIKIN “ZEBEL”

Bahan PA Mamre kali ini sangat menarik perhatian saya, I Raja – raja 21 : 7 – 14, ternyata ada si – IZEBEL seorang wanita yang yang cocok disebut wanita pembuat “ZEBEL”.

Kenapa Izebel membuat “ZEBEL” ? ia memang seorang ratu yang kejam, pemuja berhala, pembunuh banyak nabi, orang yang rela mengorbankan saudara – saudaranya untuk ambisi pribadinya dan semakin membuat kita mungkin semakin “ZEBEL”, ternyata IZEBEL adalah wanita yang sangat pandai “MENGHASUT”, ia pandai “MENGHASUT” suaminya raja AHAB untuk meninggalkan Tuhan Allah dan berbalik memuja dewa – dewa, karena ia sendiri memang pemuja setan.

Wow … lebih ngeri lagi wanita ini juga ternyata memperlihatkan dirinya sebagai seorang wanita yang “POWERFUL” karena ia memiliki stempel tersendiri selain stempel raja yang sah, oleh itu wanita ini kapan saja boleh mengeluarkan titahnya.

Kengeriannya berlanjut karena ia mendukung suaminya AHAB, yang ingin memiliki kebun anggur NABOT, ia mendukung suaminya dengan membuat persidangan yang penuh intrik, menyewa dua orang saksi dusta yang mengakibatkan Nabot dibunuh dan merampas ladang NABOT setelah kematian NABOT.

Nah, kembali kepada yang saya sebut diatas, wanita ini memang “POWERFUL”, bayangkan saja bahwa ketika si “IZEBEL” melakukan rencana jahatnya, suaminya hanya diam, suami yang seoarang raja benar – benar tidak berkutik, sehingga sang raja hanya nurut, ahhh … kalau istilah sekarang pria ini memang berkuasa tetapi berada dibawah pengaruh istri atau lebih tepatnya dibawah ketiak istri … hehehe.

Dan ternyata wanita ini juga memiliki keturunan yang sama seperti dia, anaknya yang bernama ATALYA juga menjadi seorang ratu dari raja YORAM anak raja AHAZIA dan ibarat pepatah “BUAH TIDAK JAUH DARI BATANGNYA” maka ratu ATALYA juga sangat kejam, kekejamannya terlihat ketika ia sangat berambisi naik tahta membuatnya buta akan kasih, kebenaran dan keadilan, sehingga ia rela membunuh seluruh orang – orang yang memiliki hubungan dengan garis keturunan raja.

Ah … IZEBEL memang benar seorang wanita yang membuat “ZEBRL” sesuai dengan namanya … hehehe, kekejamannya, ambisimya, kehausannya akan kuasa, kehebatannya sebagai penghasut, memang luar biasa dan lebih luar biasa ia juga berhasil melahirkan generasi penerus yang sama seperti dia.

Iinilah sedikit catatan tentang si Izebel, wanita yang membuat Tuhan “ZEBEL” dan akhirnya si – IZEBEL juga mati (II Raja2 : 30 – 37).

Ah … ternyata, si – IZEBEL memang bikin “ZEBEL” dan jangan – jangan kita juga selalu bikin “ZEBEL” orang – orang di sekitar kita … Hehehe.

Dan marilah kita bertobat jika masih suka buat “ZEBEL” supaya Tuhan tidak “ZEBEL” kepada kita.

Amin.
PKU. Jumat 07 Okt 2016.

 

BAHASA NON VERBAL ARSITEKTUR DEDUNG GEREJA

BAHASA NON VERBAL ARSITEKTUR DEDUNG GEREJA

Jikalau dalam berteologi kitFB_IMG_1427519561084a menggunakan bahasa verbal untuk menjelaskan apa yang kita imani, maka arsitektur dari sebuah gereja juga adalah alat komunikasi gereja untuk menyajikan teologianya secara non verbal.

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh filsuf Socrates dan Phaidros tentang sebuah bangunan bahwa sebuah bangunan akan memilliki bahasa komunikasinya sendiri di dalam penampakannya.

Bukankah jika kita datang ke sebuah gereja, maka yang pertama sekali kita perhatikan adalah bangunan gerejanya ? Pertama kita datang ke gereja maka kita tidak akan bertanya tentang jenis musicnya, nyanyiannya, liturgynya atau teologia yang dianut oleh gereja tersebut, tetapi umumnya kita akan memperhatikan arsitektur dari gereja itu, ya umumnya kita akan memperhatikan itu.

Dan kesan pertama akan semakin bertambah baik jika kita disambut dengan suasana gereja yang asri, halaman yang bersih, indah, rapi dan akan semakin menenangkan jiwa saat warna – warni serta aroma bunga – bunga yang menghidupkan suasana gereja.

Umumnya juga, suasana sorgawi ruangan gereja akan semakin lebih menghidupkan keimanan kita saat berada di dalam ruang gereja yang sungguh kelihatan sakral dan jika hal itu benar terjadi maka arsitektur gereja itu telah menyambut umatNya dengan dengan dengan sangat baik.

Banyak gereja yang telah memahami arti dan makna dari sebuah arsitektur gereja, sehingga mereka merancang gerejanya dengan sangat baik dan dirawat dengan sangat baik, oleh karna gereja yang indah akan memang benar mengidupkan setiap orang yang datang ke gereja.

Jika kita bertanya kenapa bagunan gereja perlu dirancang dan dirawat dengan baik ? Sesuai dengan judul diatas karena arsitektur gereja yang baik memang adalah salah satu symbol dari teologia dalam menyajikan teologianya dalam bahasa non verbal, dimana Tuhan Allah hadir disana dan ingin berjumpa dengan umatNya

Namun terkadang sangat disayangkan ketika banyak gereja atau jemaat yang hanya memahami arsitektur gereja itu tidak begitu penting, karena gereja hanya dianggap sebagai tempat beribadah, oleh itu maka banyak pula gedung gereja yang tidak dirancang dan dirawat dengan baik.

Sebagai kesimpulan singkat saya dalam status ini, arsitektur dari sebuah gereja sangatlah penting di perhatikan, karena arsitektur dari bangunan gereja itu sendiri adalah bahasa non verbal gereja bagaimana gereja menyajikan teologianya dalam bentuk sebuah arsitektur.

PKU. Rabu 06 Okt 2016.