LUGU BAK NASRUDIN

LUGU BAK NASRUDIN   
(Ini salah satu ilustrasi yang saya suka dan ilustrasinyasering saya pakai dalam khotbah – khotbah saya)

Nasrudin dikunjungi seorang teman yang membawa seekor bebek. Maka nasrudin pun memasak sop bebek dan menyantapnya berdua. Sekitar sejam setelah temannya pulang, datanglah seorang yang sama sekali tidak di kenal Nasrudin. Orang itu berkata, “Aku adalah teman dari teman yang membawa bebek tadi.” Memang masih ada sisa sop bebek itu, namun hanya sedikit sekali. Cepat – cepat Nasrudin menambah air lalu menyajikannya. Sejam kemudian datang lagi seorang yang tidak dikenal dan berkata, “Aku adalah teman dari teman dari teman yang membawa bebek.” Nasrudin bingung. Sisa kuah sop itu sudah tinggal sedikit sekali. Maka Nasrudin menambah lagi air lalu menyajikannya. Baru saja orang itu mencicipi ujung sendok, ia membentak, “Sop apa ini?” Dengan tenang Nasrudin menjawab, “Ini adalah sop bebek dari sop bebek dari sop bebek.”

Pada kesempatan lain Nasrudin sedang berjalan ke kota. Beberapa anak nakal ingin memperdaya dia dan mencuri sandalnya. Mereka berpura-pura meminta Nasrudin mengajar mereka memanjat pohon. Nasrudin pun melepaskan sandal, memasukkan sandalnya ke dalam saku, lalu mulai memanjat pohon. Anak-anak menjadi bengong dan berteriak, “Kenapa sandalnya dibawa?” Nasrudin menjawab, “Barangkali di puncak pohon ada jalan. Aku ingin belajar berjalan di situ.”

Pada suatu hari Nasrudin meminjam sebuah panci besar dari tetangga yang terkenal licik dan serakah. Ketika ia mengembalikan panci itu, dimasukkannya sebuah panci baru yang kecil. Ia berkata, “Pancimu ternyata hamil dan semalam melahirkan anak.” Tanpa mengucapkan apa-apa tetangga itu mengambil kedua panci itu. Seminggu kemudian Nasrudin meminjam lagi panci besar itu. Esok harinya ketika tetangga itu menagih, Nasrudin berkata, “Pancimu semalam telah meninggal dunia.” Tetangga itu marah, “Mustahil, mana ada panci meninggal dunia!” Nasrudin menjawab, “Ketika pancimu hamil dan melahirkan, kamu tidak bilang apa-apa; sekarang pancimu meninggal dunia kamu bilang mustahil.”

Siapa Nasrudin ? Konon ia adalah seorang sufi di Turki pada abad ke – 14. Ada ratusan anekdot tentang Nasrudin yang merupakan paduan humor dan satire (gaya sastra sindiran). Dalam bahasa Inggris saja, ada hampir seratus buku yang berisi koleksi dan analisis cerita Nasrudin.

Tiap anekdot Nasrudin menyimpan sebuah kebenaran. Kebenaran itu sering kali menusuk, namun dikemas sedemikian rupa sehingga pembaca tidak menjadi gusar, melainkan tertawa bahkan menertawakan diri sendiri.

Bagaimana dengan karakter Nasrudin ? Ia digambarkan sebagai seorang yang meyakini suatu keyakinan yang jelas. Cara meyakininya itu selalu bersifat lugu, artinya wajar dan apa adanya. Dengan demikian keyakinannya terungkap dengan sederhana, singkat-padat dan jelas.

Bukankah begitu sebetulnya hakikat sebuah kesaksian ? Kita bersaksi tentang apa yang telah dan tengah diperbuat Allah dalam Kristus. Kita bersaksi tentang sebuah kebenaran yang bernama Kristus. Kita bukan pemilik kebenaran itu. Kita hanyalah “anekdot” yang mengangkut atau mentransportasi kebenaran itu.

Supaya kebenaran itu tiba di alamat dengan jitu. “anekdot’-nya harus jitu pula. Nasrudin menjadi anekdot yang jitu karena sifatnya yang lugu, yaitu wajar dan apa adanya. Ia tidak dibuat-buat.

Ketika Tuhan Yesus menyapa persoalan tentang sumpah seorang saksi kebenaran, ia menegaskan bahwa yang penting bukanlah sumpahnya, melainkan kebenarannya. Ia berkata, “Jika ya, hendaklah kamu katakan : ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan : tidak …” (Mat. 5:37). Apa faedahnya ber sumpah demi ini atau demi itu, kalau kesaksiannya tidak benar. Yang perlu adalah bahwa kesaksian kita sungguh-sungguh benar. Kristus tidak merasa perlu di perindah, di perbesar dan di perhebat dalam kesaksian kita. Apa adanya saja. Wajar saja. Lugu saja. Justru kesaksian yang lugu bisa menjadi kesaksian yang ampuh.

Keluguan itu pula yang membuat pesan kebenaran Nasrudin menjadi ampuh. Coba simak anekdot ini. Nasrudin sedang berdiri di depan pasar yang ramai dengan orang berlalu-lalang. Temannya bertanya, “Mengapa tidak diatur saja berjalan ke satu arah yang sama ?” Nasrudin menjawab, “Kalau semua orang berjalan ke arah yang sama, dunia ini akan miring dan berat sebelah.” Kebenaran apa yang tersembunyi di balik anekdot ini? Bahwa keselarasan tercipta bukan melalui penyeragaman, melainkan justru melalui kemajemukan.

Anda ingin mendengar lagi cerita Nasrudin ? Tidak mungkin semua diceritakan di sini. Tetapi tambahan satu lagi boleh saja. Ini dia.

Nasrudin sedang duduk di tepi danau. Tiba – tiba ada orang tenggelam dan berteriak, “Tolong, tolong !” Langsung orang-orang berteriak, “Berikan tanganmu !” Tetapi orang itu tidak mau mengulurkan tangannya. Lalu Nasrudin mendekat dan berteriak, “Ambil tanganku !” Ketika itu juga orang tadi meraih dan memegang erat tangan Nasrudin. Semua orang heran dan bertanya, “Nasrudin, mengapa dia tidak mau menanggapi teriakan kami ?” Nasrudin Menjawab, “Orang ini terkenal kikir. Ia tidak mau memberi, Ia hanya mau mengambil.”

Apa ? Anda mau satu lagi? Baiklah. Anggap saja ini bonus. Tetapi ini yang terakhir. Ada seorang pemuda makan sebutir telur rebus di warung. Sesudah makan ia pergi tanpa membayar. Setahun kemudian ia kembali lagi untuk membayar. Tetapi pemilik warung berkata, “Memang uangmu ini pas untuk sebutir telur rebus. Tetapi kamu harus bayar seratus kali lipat, sebab dalam waktu setahun telur itu bisa menetas menjadi ayam dan ayam itu bertelur dan telur itu menjadi ayam lagi!” Pemuda itu tidak bisa menerima alasan tersebut. Dibawalah persoalan ini ke pengadilan. Lalu pengadilan memanggil Nasrudin untuk memberi kesaksian. Lama sekali Nasrudin ditunggu, ia sangat terlambat. Hakimpun menegur, “Nasrudin, mengapa kamu terlambat ?” Nasrudin menjawab, “Maaf, Tuan Hakim, aku terlambat karena aku sedang merebus benih gandum untuk ditanam.” Hakim itu langsung menegur, “Aneh betul, masakan benih gandum yang sudah direbus bisa ditanam dan menghasilkan gandum ?” Nasrudin menjawab, “Memang aneh, sama anehnya dengan sebutir telur yang sudah direbus tapi bisa menetas menjadi ayam.”

Nah, itu cerita yang terakhir. Lain kali diteruskan. Apa? Anda minta ekstra lagi ? Wah, rupanya Anda sudah ketagihan cerita Nasrudin. Kalau begitu baiklah. Tapi ini betul-betul yang terakhir.

Nasrudin melakukan perjalanan bersama dua orang kawan. Ia lapar dan ingin membagi roti satu-satunya yang dimilikinya. Tetapi kedua teman yang belum lapar itu berkata, “Besok sajalah! Malam ini kita langsung tidur. Barangsiapa yang mimpinya paling bagus, dia boleh makan roti ini.” Keesokan harinya seorang teman berkata, “Mimpiku sangat bagus. Aku melihat nabi.” Temannya yang lain berkata, “Mimpiku lebih bagus lagi. Aku melihat Tuhan.” Sekarang giliran Nasrudin, Dengan suara perlahan dan kepala menunduk Nasrudin berkata, “Aku tidak melihat nabi dan juga tidak melihat Tuhan. Yang kulihat adalah Istriku. Ia menyuruh aku memakan roti itu. Lalu aku segera bangun dan langsung memakan roti itu. Sekarang roti itu sudah habis.”

Dari buku, Andar Ismail “Selamat Berkiprah”, semoga bermanfaat bagi kita. Tuhan memberkati

PKU. Selasa 08 Feb 2017.

HIDUP SENDIRI TAPI BUKAN UNTUK DIRI SENDIRI

HIDUP SENDIRI TAPI BUKAN UNTUK DIRI SENDIRI

Banyak orang sejak kecil sudah beranggapan bahwa menjadi dewasa berarti menjadi suami atau istri dan ayah atau ibu. Akibatnya, mungkin ia menjadi gelisah atau merasa diri kurang ketika ia belum menikah pada usia dewasa. Lalu orangtuanya mulai bingung dan para tante mulai berbisik – bisik menawarkan jasa baik untuk menjadi “emak comblang”.

Apakah menjadi dewasa berarti harus menikah ? Memang menurut kitab Kejadian, ketika Tuhan menciptakan manusia, Ia pun menciptakan lembaga pernikahan. Tuhan memungkinkan dan memberkati pernikahan. Namun sebuah kemungkinan bukan merupakan keharusan dan tidak selalu harus digunakan. Misalnya, Tuhan memberi kemungkinan kepada manusia untuk berenang. Apakah itu berarti bahwa kita semua harus cakap dan gemar berenang ?

Banyak pula orang melihat keadaan hidup membujang hanya dari segi negatifnya saja, misalnya rasa sepi atau ketidakpastian akan hari depan. Tetapi sebetulnya dalam hidup berkeluarga pun rasa sepi dan ketidakpastian itu dapat terjadi.

Jarang orang melihat bahwa hidup membujang pun ada segi positifnya. Hidup membujang dapat berarti lebih banyak waktu, tidak terikat pada kewajiban – kewajiban sebagai anggota keluarga, lebih banyak kesempatan pengembangan diri untuk karier, profesi, pelayanan kepada gereja atau pengabdian kepada masyarakat.

Pakar psikologi perkembangan, Erik Erikson mengatakan bahwa salah satu ciri kedewasaan adalah sifat generativitas. Yang dimaksud bukanlah berproduksi atau berkembang biak secara biologis, melainkan mengembangkan mutu hidup bagi generasi selanjutnya. Orang yang membujang pun bersifat generatif. Sama seperti orang yang berkeluarga, orang yang membujang pun dapat mewariskan atau menyalurkan kecakapan, pengetahuan dan nilai – nilai hidup kepada generasi selanjutnya. Bahkan orang yang membujang mungkin dapat melakukan pewarisan itu dengan lebih ampuh dan dengan jangkauan yang lebih luas.

Dari sudut itu kita melihat peran orang yang hidup membujang yang membaktikan hidupnya untuk kesejahteraan manusia, seperti Tuhan Yesus, Rasul Paulus, Nabi Yeremia, Pascal, Jean d’Arc, Florence Nightingale, Erasmus, Ibu Theresa dan banyak lainnya. Orang-orang itu hidup sendiri, tetapi mereka tidak hidup untuk diri sendiri, melainkan untuk kalangan yang lebih luas. Siapa yang dapat menyangkal besarnya peranan mereka untuk umat manusia.

Segi – segi positif itu diperlihatkan Rasul Paulus ketika ia menulis, “… Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya.” (I Korintus 7 : 32 – 34). Bahkan dalam pasal yang sama Paulus mengatakan bahwa hidup membujang adalah karunia dari Tuhan (ayat 7).

Memang kebanyakan orang dewasa menempuh hidup menikah. Tetapi itu bukan berarti bahwa hidup membujang adalah penyimpangan. Sebagaimana masyarakat mempunyai ruang untuk mereka yang menempuh hidup nikah, demikian juga masyarakat perlu menyediakan ruang bagi mereka yang hidup membujang. Salah satu sifat kemajemukan berlaku di sini: masyarakat kita terdiri dari orang yang menikah dan orang yang membujang. Kehadiran orang membujang perlu diperhitungkan, misalnya dalam liturgi responsive janganlah jemaat dikategorikan sebagai suami atau ayah melainkan pria, sebab tidak semua pria adalah suami atau ayah.

Baik hidup menikah maupun membujang adalah hidup yang utuh, penuh dan wajar. Karena itu orang yang hidup perlu mendapat perlakuan yang wajar. Mereka tidak perlu dikasihani, tetapi tidak perlu pula dikagumi. Mereka tidak usah ditanya mengapa mereka tidak menikah. Hidup membujang bukan tanda hina dan bukan juga tanda mulia. Arti hidup manusia bukan diukur dengan hal menikah atau tidak.

Di Matius 19 : 12, Tuhan Yesus bersabda, “… Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.”

Dari buku Pdt. DR. Andar Ismail “SELAMAT RIBUT RUKUN”.

PKU. Kamis 09 Feb 2017.

 

TEOLOGI SUKSES

TEOLOGI SUKSES

Saya tertarik kembali membaca ulang buku Ir. Herlianto. MTh tentang “Teologi Su16650422_1903766159909830_694862259_nkses”. Keinginan membaca kembali buku ini, karena sepertinya “Teologi Sukses” secara pelan dan berangsur memasuki gereja – gereja yang sangat memahami pengajaran tentang “Teologi Sukses”.

Beberapa alasan yang menguatkan pandangan saya itu akan saya sebutkan disini walaupun tidak melalui penelitian yang khusus, tetapi rasanya memang paham “Teologi Sukses” telah sukses mempengaruhi banyak Pelayan Tuhan, Jemaat bahkan gereja sendiri sepertinya tidak mempersoalkan itu antara lain yang dapat saya sebutkan :

  • Dalam beberapa pengalaman saya mejadi seorang pendengar dan mendengarkan khotbah banyak sekali saya mendengar khotbah yang disampaikan Pendeta/Penatua/Diaken, sepertinya pengkhotbah tersebut sangat menekankan aspek “kesuksesan dan kemakmuran.
  • Terprakteknya doa – doa, penyembuhan, doa pelepasan, doa yang kemasukan roh, dsb, dimana doa tersebut lebih menekankan aspek mukjizat.
  • Demikian juga halnya dengan berkembangnya model – model ibadah seperti “kebangunan Rohani” walau dengan istilah yang berbeda, tetapi sepertinya model ibadah itu dilakukan lebih mendekati kepada model ibadah “Teologi Sukses”, aspek – aspek liturgy bukanlah lagi suatu hal yang penting.

Ada beberapa hal yang sangat ditekankan oleh gerakan penganut “Teologi Sukses” antara lain yang saya kutip melalui buku ini, antara lain :

  • “Tuhan ingin kamu kaya”. “Teologi Sukses” menekankan moto ini, “Tuhan menginginkan Anda menjadi orang kaya.” Penekanan ini membuat pendengarnya sangat ingin menjadi kaya. Guna mendukung ajaran Teologi Sukses khususnya untuk mendukung ajaran hidup yang kaya dan berkelimpahan, beberapa ayat favorit digunakan dengan tafsiran salah adalah seperti berikut :“Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10), “Saudaraku yang kekasih, aku berdoa, semoga engkau baik-baik dan sehat-sehat saja dalam segala sesuatu, sama seperti jiwamu baik-baik saja” (3 Yohanes 2),“Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinannya” (II Korintus 8 : 9). Ayat – ayat di atas diartikan sebagai petunjuk bahwa umat Kristen berhak menjadi kaya, hidup dalam segala kelimpahan materi dan duniawi yang berarti banyak uang, hidup berkelimpahan, dan hidup dengan segala kenikmatan. Jelas sekalai para penganut paham “Teologi Sukses” telah melepas konteks dari ayat Alkitab itu sendiri.
  • Berpikir positif. “Berpikir Positif atau Positive Thinking adalah juga merupakan pengajaran yang sangat ditekankan sebagai salah satu metode yang dipraktekkan di kalangan Teologia Sukses, seperti Norman Vincent Peale, Robert Schuller, Paul Yonggi Cho, dsb. Positive Thinking mengajarkan bahwa pikiran manusia memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menghasilkan apa yang ia inginkan. Pada prinsipnya dalam positive thinking ada anggapan bahwa pikiran kita mempunyai kekuatan dalam diri sendiri, dan kekuatan itu dapat dikembangkan untuk mencapai potensi yang penuh. Di sini kekuatan itu dianggap sudah inheren dalam diri manusia, jadi segala sesuatu bisa terjadi atau tidak terjadi bila kita menggunakan kekuatan pikiran. Dalam positive thinking iman sering diberi pengertian yang berbeda dari arti iman dalam Alkitab. Dalam positive thinking, iman diberi pengertian yang artinya kemampuan mengolah kekuatan pikiran atau kekuatan batin (inner power). Pengajaran ini jelas melupakan apa yang di ingatkan oleh Alkitab bahwa, tidak ada ayat dalam Alkitab yang mengajarkan bahwa berpikir positif akan menghasilkan sesuatu apapun yang diinginkan. Alkitab mengajarkan untuk bersandar kepada Tuhan dan bukan pada pengertian diri kita sendiri “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri” (Amsal 3:5).
  • Hal ini juga hampir seluruhnya diajarkan dalam pemahaman “Teologi Sukses”. Visualisasi adalah suatu pengajaran bahwa jikalau seseorang ingin memperoleh sesuatu ia harus mampu membayangkan apa yang diinginkan. Hal ini dapat diumpamakan dengan pekerjaan seorang arsitektur. Seorang Arsitek harus mampu melihat bahwa dalam mengembangkan gagasan rencananya, dia membuat bayangan visualisasi rencana yang dicita-citakan. Ajaran mengenai kekuatan pikiran dan visualisasi menunjukkan dengan jelas sinkretisme dengan ajaran psikologi baru dan perdukunan atau kebatinan, sebab justru praktek-praktek demikianlah yang banyak dipraktekkan dalam psikologi modern, hipnotisme.
  • Kata-kata sugesti. Kata-kata Sugesti adalah metode ketiga di samping berpikir positif dan visualisasi. Para pelopor ajaran sukses seperti Norman Vincent Peale maupun Robert Schuller seiring dengan ajaran psikologi modern, mempopulerkan bahwa “kata – kata yang kita ucapkan mempunyai kekuatan magis.” Kata – kata maupun kalimat-kalimat tertentu bila diucapkan berulang-ulang akan mendatangkan khasiat tertentu bagi yang mengucapkan.
  • Manipulasi ayat – ayat Alkitab. Lebih parah lagi bahwa pengajaran “Teologi Sukses” juga sangat pandai memanipulasi ayat – ayat Alkitab dan sebenarnya ayat – ayat Alkitab yang dikutip lebih banyak digunakan sebagai slogan yang diartikan secara harfiah dan di luar konteksnya, bahwa sering berlawanan dengan arti sebenarnya yang dimaksudkan oleh konteks ayat itu. Jadi ayat Alkitab dijadikan menjadi pendukung ajaran luar yang dimasukkan ke dalam pengajaran kekristenan demi untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
  • Mengajaran pengajaran “Tidak ada yang mustahil”. Pengajaran ini selalu didasarkan oleh kutipan ayat Alkitab seperti ; “Adakah sesuatu apapun yang mustahil bagi TUHAN ?” (Kejadian 18 : 14a), “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin” (Matius 19 : 26) “Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” (Markus 9:23b), “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Lukas 1:37), “Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah” (Lukas 18:27),“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan keapadaku” (Filipi 4:13), “Sesungguhnya, Engkaulah yang telah menjadikan langit dan bumi dengan kekuatan-Mu yang besar dan dengan lengan-Mu yang terentang. Tiada suatu yang mustahil untuk-Mu” (Yeremia 32:17), “Sesungguhnya, Akulah TUHAN, Allah segala makluk; adakah sesuatu yang mustahil untuk-Ku” (Yeremiah 32:27). Dalam Markus 9 : 23b, Yesus mengatakan kepada ayah anak yang dirasuk setan, bahwa “Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya,” ini menunjuk pada kuasa Yesus yang akan diterima keluarga itu apabila mereka percaya. Jadi bukan “kepercayaan mereka yang dapat mengusir roh itu, tetapi “kepercayaan” mereka memohon belas kasihan Yesus untuk menyatakan kuasa-Nya.
  • Berilah dan Mintalah. Penganut paham “Teologi Sukses” mendasarkan pengajarannya ini berdasarkan ayat Alkitab, antara lain : “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan ituke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumahKu dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan” (Maleakhi 3:10),“Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan tumpah keluar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Lukas 6:38),“Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menua sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Korintus 9:6). Ya, ayat – ayat ini dipakai untuk memotivasi orang untuk memberikan persembahan, sebab persembahan berarti investasi supaya nanti memperoleh laba atau berkat yang berlipat-lipat.
  • Ibadah dan penyembahan. Dalam ibadah “Teologi Sukses” juga sangat menekankan “Pujian dan penyembahan kepada Allah”, sehingga penekanan pada pujian penyembahan mengakibatkan sedikit tempat untuk menyelidiki firman Tuhan, pleh itu jangan heran penganut paham ini sangat dangkal dalam memahami firman Tuhan dan memang sudah malas mendengar firman karena sudah kelelahan dalam nyanyian penyembahan, sehingga pelayan Tuhan yang menyampaikan firman bisa dengan santai memberitakan firman tanpa harus menggali Alkitab dengan yang sebenarnya.

Ada banyak hal lain yang di ungkapkan oleh Ir. Herlianto. MTh, dalam bukunya tentang pengajaran “Teologi Sukses” dan saya rasa ada baiknya kita memiliki buku ini, sehingga kita dapat memahami apa, bagaimana sebenarnya “Teologia Sukses” … eh, tapi jangan minta sama saya ya … hehehe, saya juga hanya memiliki satu buku dan semoga tulisan kecil ini bermanfaat bagi kita dan bagi pemahaman kita tentang teologia sesuai dengan tahun kita pada saat ini “Belajar Dan melakukan” sehingga dalam memahami Alkitab kita semakin mampu sesuai dengan kehendakNya, Tuhan yang berfirman dalam kitab – Nya.

Pekanbaru. Kamis 08 Feb 2017.

SUPLEMEN PJJ ; BERKOMITMEN TETAP BERADA DI DALAM PERSEKUTUAN ORANG – ORANG BERIMAN

BERKOMITMEN TETAP BERADA DI DALAM PERSEKUTUAN ORANG – ORANG BERIMAN

Ada beberapa hal yang dapat kita sebutkan kenapa kita selalu rindu berada di dalam gereja hidup bersama di dalam persekutuan orang – orang beriman :

1. Kita memahami bahwa kita adalah gereja yaitu orang – orang yang dipanggil keluar dari hidupnya yang lama yang tak mengenal Tuhan (Yunani: ekklesia –> diserap menjadi igreya, ecclesia, gereja) untuk menjadi komunitas milik Tuhan (Yunani : kuriake –> diserap menjadi kirke, kerk, church). Oleh itu gereja bukanlah gedung atau struktur organisasi, tetapi komunitas, ya, komunitas orang – orang beriman.

2. Berikutnya, gereja merupakan komunitas belajar mengajar. Belajar apa ? macam -macam ! Tentunya belajar mengenal iman Kristen. Lalu belajar memahami makna gereja dan peranan kita dalam gereja. Memperluas wawasan tentang berbagai pandangan yang ada dalam gereja. Lalu juga belajar peduli, belajar menghargai dan menerima orang dan komunitas lain, terlepas dari apapun ras, agama dan pandangan politik.

3. Sebagai anggota gereja di dalam persekutuan yang kudus maka di di dalamnya kita dapat memainkan peranan kita sebagai anggota gereja. Dapatkah orang menjadi Kristen tanpa mengikatkan dirinya pada gereja ? Tidak dapat ! Pengakuan iman memang adalah hal pribadi, tetapi “kita semua adalah tubuh Kristus dan kita masing – masing adalah anggotanya”. Bagaimana mungkin kita menjadi anggota tubuh kalau tidak mau menyatu dengan tubuh tersebut ? dan bagaimana mungkin kita dapat memainkan peranan kita tanpa persekutuan yang kuat ?.

4. Dan lebih dari point ke 3, didalam gereja dan di dalam setiap persekutuan kita tang ada kita dapat semakin dapat mengembangkan sikap kepedulian karena gereja atau persekutuan adalah komunitas yang peduli, sesuai dengan hakekatnya sebagai satu Tubuh, yaitu Tubuh Kristus.

5. Gereja atau persekutuan kita mungkin mengecewakan … membosankan … melakukan kesalahan. Namun seenggan – enggannya perasaan kita dan sejauh – jauhnya kita pergi, kita pulang kembali ke gereja, sebab gereja adalah rumah milik Kristus yang tersedia sebagai tempat tinggal kita. Di situlah kita tinggal karena disitu kita serumah dengan Kristus.

6. Dan dibalik semua itu, apa sebab kita semakin menguatkan komitmen kita untuk tetap hadir di dalam persekutian kita ? Hal itu tergantung kepada spiritulitas seseorang.

Spiritualitas berasal dari akar kataspare (Latin) yang memiliki arti : menghembus, meniup, mengalir. Dari kata kerja spare terjadi pembentukan kata benda spiritus atau spirit, yang memiliki arti: hembusan, tiupan, aliran udara. Kata itu kemudian mengalami perkembangan arti menjadi : udara, hawa yang dihisap, nafas hidup, nyawa roh, hati, sikap, perasaan, kesadaran diri, kebesaran hati, keberanian.

Dalam Alkitab, spirit ditulis dalam bahasa asli : ruakh (Ibrani) dan pneuma (Yunani). Arti kata ruakh atau pneuma dalam Alkitab adalah “nafas atau udara yang menggerakkan dan menghidupkan”. Pengertian ini sama dengan pengertian spirit yang sering kita pakai sesehari, yaitu ‘semangat’. Semangat atau spirit yang kita butuhkan untuk bergerak dan hidup. semangat atau spirit ini hanya kita miliki di dalam Roh Kudus.

Jadi, dari kata itu sendiri, spiritualitas dapat dipahami sebagai sumber semangat untuk hidup, bertumbuh, dan berkembang dalam semua bidang kehidupan di dunia ini, baik secara pribadi maupun bersama orang lain, yang kita peroleh di dalam perjumpaan dengan Allah, sesama dan diri sendiri.

Selamat berkomitmen dan selamat menjadi gereja, selamat hidup bersama di dalam persekutuan orang – orang beriman, hal inilah yang dapat saya artikan dalam Ibrani 10 : 22 – 25, malam ini dalam PJJ. Sektor Kanaan, GBKP. Pekanbaru.

Pekanbaru. Selasa 08 Feb 2017.

DOA ITU BUKAN MANTRA

DOA ITU BUKAN MANTRA
Dalam cerita “Ali Baba dan 40 Penyamun”, dikisahkan tentang sebuah gua rahasia tempat menyimpan harta hasil rampokan. Gua itu terbuka dan tertutup kembali secara ajaib bila diucapkan kata mantra.
Mantranya berbunyi, “Sesame, engkau pintu bersakti, terbukalah.” Pada suatu hari, Kassim, yang terkenal serakah, berhasil menguping mantera itu. Begitu ada kesempatan, ia pun mencoba. Benarlah, batu gua itu bergeser. Ia mengambil uang emas sebanyak-banyaknya. Tetapi ketika ia ingin keluar lagi, ia lupa bunyi mantera itu. Ia berteriak, “Sesame, pintu sakti, terbukalah.” “Sesame, terbukalah”.
Bermacam – macam kalimat diucapkannya. Tetapi tidak ada satu pun yang tepat dengan mantra. Goa itu tetap tertutup, dan ia mati di situ. Itulah mantera.
Apa itu mantra (Karo : Tabas – Tabas) ? Mantra adalah perkataan atau kalimat yang dapat mendatangkan kuasa gaib. Mantera beda dengan Doa. Mantera harus dihafal dan memiliki kata kata khusus dan unik.
Tapi sering juga kita menganggap doa juga adalah mantra. Kita berdoa seolah olah membaca mantra, dimana dengan kata kata khusus dan unik, tiba tiba doa kita manjur dan langsung dijawab seperti kata – kata gaib yang terdapat di dalam mantra. Doa bukanlah mantra karena kekuatan doa tidak terletak pada kalimat yang di dalamnya atau oleh pengucapan kata – kata, melainkan terletak pada Tuhan sang pemilik doa.
Cuplikan dari buku Pdt. Dr. Andar Ismail “Selamat Pagi Tuhan”. Semoga dapat menjadi refrensi bagi kita. Tuhan memberkati.
Pekanbaru. Jumat 03 Feb 2017.