HIDUP SENDIRI TAPI BUKAN UNTUK DIRI SENDIRI

HIDUP SENDIRI TAPI BUKAN UNTUK DIRI SENDIRI

Banyak orang sejak kecil sudah beranggapan bahwa menjadi dewasa berarti menjadi suami atau istri dan ayah atau ibu. Akibatnya, mungkin ia menjadi gelisah atau merasa diri kurang ketika ia belum menikah pada usia dewasa. Lalu orangtuanya mulai bingung dan para tante mulai berbisik – bisik menawarkan jasa baik untuk menjadi “emak comblang”.

Apakah menjadi dewasa berarti harus menikah ? Memang menurut kitab Kejadian, ketika Tuhan menciptakan manusia, Ia pun menciptakan lembaga pernikahan. Tuhan memungkinkan dan memberkati pernikahan. Namun sebuah kemungkinan bukan merupakan keharusan dan tidak selalu harus digunakan. Misalnya, Tuhan memberi kemungkinan kepada manusia untuk berenang. Apakah itu berarti bahwa kita semua harus cakap dan gemar berenang ?

Banyak pula orang melihat keadaan hidup membujang hanya dari segi negatifnya saja, misalnya rasa sepi atau ketidakpastian akan hari depan. Tetapi sebetulnya dalam hidup berkeluarga pun rasa sepi dan ketidakpastian itu dapat terjadi.

Jarang orang melihat bahwa hidup membujang pun ada segi positifnya. Hidup membujang dapat berarti lebih banyak waktu, tidak terikat pada kewajiban – kewajiban sebagai anggota keluarga, lebih banyak kesempatan pengembangan diri untuk karier, profesi, pelayanan kepada gereja atau pengabdian kepada masyarakat.

Pakar psikologi perkembangan, Erik Erikson mengatakan bahwa salah satu ciri kedewasaan adalah sifat generativitas. Yang dimaksud bukanlah berproduksi atau berkembang biak secara biologis, melainkan mengembangkan mutu hidup bagi generasi selanjutnya. Orang yang membujang pun bersifat generatif. Sama seperti orang yang berkeluarga, orang yang membujang pun dapat mewariskan atau menyalurkan kecakapan, pengetahuan dan nilai – nilai hidup kepada generasi selanjutnya. Bahkan orang yang membujang mungkin dapat melakukan pewarisan itu dengan lebih ampuh dan dengan jangkauan yang lebih luas.

Dari sudut itu kita melihat peran orang yang hidup membujang yang membaktikan hidupnya untuk kesejahteraan manusia, seperti Tuhan Yesus, Rasul Paulus, Nabi Yeremia, Pascal, Jean d’Arc, Florence Nightingale, Erasmus, Ibu Theresa dan banyak lainnya. Orang-orang itu hidup sendiri, tetapi mereka tidak hidup untuk diri sendiri, melainkan untuk kalangan yang lebih luas. Siapa yang dapat menyangkal besarnya peranan mereka untuk umat manusia.

Segi – segi positif itu diperlihatkan Rasul Paulus ketika ia menulis, “… Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya.” (I Korintus 7 : 32 – 34). Bahkan dalam pasal yang sama Paulus mengatakan bahwa hidup membujang adalah karunia dari Tuhan (ayat 7).

Memang kebanyakan orang dewasa menempuh hidup menikah. Tetapi itu bukan berarti bahwa hidup membujang adalah penyimpangan. Sebagaimana masyarakat mempunyai ruang untuk mereka yang menempuh hidup nikah, demikian juga masyarakat perlu menyediakan ruang bagi mereka yang hidup membujang. Salah satu sifat kemajemukan berlaku di sini: masyarakat kita terdiri dari orang yang menikah dan orang yang membujang. Kehadiran orang membujang perlu diperhitungkan, misalnya dalam liturgi responsive janganlah jemaat dikategorikan sebagai suami atau ayah melainkan pria, sebab tidak semua pria adalah suami atau ayah.

Baik hidup menikah maupun membujang adalah hidup yang utuh, penuh dan wajar. Karena itu orang yang hidup perlu mendapat perlakuan yang wajar. Mereka tidak perlu dikasihani, tetapi tidak perlu pula dikagumi. Mereka tidak usah ditanya mengapa mereka tidak menikah. Hidup membujang bukan tanda hina dan bukan juga tanda mulia. Arti hidup manusia bukan diukur dengan hal menikah atau tidak.

Di Matius 19 : 12, Tuhan Yesus bersabda, “… Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.”

Dari buku Pdt. DR. Andar Ismail “SELAMAT RIBUT RUKUN”.

PKU. Kamis 09 Feb 2017.

 

Tinggalkan komentar