SUAMI DAN ISTRI MENURUT PERSPEKTIF KRISTEN

SUAMI DAN ISTRI MENURUT PERSPEKTIF KRISTEN

Pdt. Israel H Sembiring

PENGANTAR

Menjadi suami – istri di hadapan Tuhan adalah suatu perjanjian yang bersifat sangat kudus. Oleh karena itu, di dalamnya ada tanggung jawab yang sangat besar dan serius dimana setiap pihak harus menjaga janji kudus tersebut dan bersikap hormat kepada Tuhan, dengan berusaha untuk hidup berlandaskan prinsip – prinsip kebenaranNya di dalam sebuah ikatan pernikahan. Dan ketika menghadapi berbagai kesulitan, setiap pihak harus berusaha dengan penuh pengharapan kepada Tuhan untuk bisa mengatasinya. Oleh itu sangat pantang bagi orang kristen mengikuti pola hidup anak – anak dunia yang baginya mudah untuk menikah, juga kemudian mudah baginya mencari alasan untuk bercerai dan menikah lagi. Cara sedemikian bukanlah cara hidup keteladanan orang Kristen dalam memahami pernikahan[1].

Tulisan ini tidak memuat fakta dan angka tentang perceraian yang terjadi di jemaat GBKP, karena secara umum gereja kita memang tidak memuat statistik data yang akurat soal angka perceraian yang terjadi di kalangan jemaat GBKP secara Sinodal, tetapi yang pasti bahwa tingginya angka perceraian di kalangan jemaat GBKP juga seharusnya menjadi fokus perhatian kita. Sebagai perbandingan secara umum di dalam masyarakat Indonesia merujuk kepada data yang di keluarkan oleh pemerintah Indonesia bahwa tingkat perceraian keluarga Indonesia dari waktu ke waktu semakin meningkat. Pasca reformasi politik di Indonesia tahun 1998, tingkat perceraian keluarga Indonesia terus mengalami peningkatan. Data tahun 2016 misalnya, angka perceraian mencapai 19,9% dari 1,8 juta peristiwa. Sementara data 2017, angkanya mencapai 18,8% dari 1,9 juta peristiwa. Jika merujuk data 2017, maka ada lebih 357 ribu pasang keluarga yang bercerai dalam setahun. Jumlah yang tidak bisa terbilang sedikit. Apalagi terpapar bukti, perceraian terjadi lebih banyak pada usia perkawinan di bawah 5 tahun. Menurut data banyak kasus perceraian dilakukan oleh pasangan yang berusia di bawah 35 tahun dan selain itu, meningkatnya jumlah pernikahan muda selama sepuluh tahun terakhir berbanding lurus dengan meningkatnya angka perceraian. Dalam hal ini salah satu yang patut kita perhatikan bahwa hilangnya makna dari kesakralan sebuah pernikahan. Dulu pernikahan adalah peristiwa sangat sakral. Dan ini berlaku bagi setiap agama manapun. Saat dua orang melakukan perjanjian atas nama Tuhan. Tapi yang terjadi sekarang terjadi pergeseran nilai dan terjadinyas degradasi dari pemaknan pernikahan yang sakral itu[2].

TUJUAN ALLAH ATAS PERNIKAHAN

Allah berfirman “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”. Dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia inilah kalimat yang pertama sekali Allah mengatakan kalimat“tidak baik”, setelah di dalam Kej 1 : 31a, Allah berkata bahwa semua yang telah Ia ciptakan “Sungguh amat baik”. Pernyataan Allah dengan mengatakan “Tidak baik” tersebut secara fokus mengarah kepada keadaan kehidupan manusia, bahwa keadaan manusia yang hidup sendiri adalah tidak baik. Firman Allah tersebut pada saat ini juga adalah suatu kebenaran, karena ada begitu banyak fakta yang menyatakan bahwa hidup sendiri itu memang tidaklah baik, tetapi sungguhlah amat baik jika seorang laki – laki dan perempuan hidup bersama dalam ikatan pernikahan dan membangun kehidupan keluarga yang diberkati Tuhan. Jadi jelas tujuan Allah atas pernikahan adalah menjawab kebutuhan manusia di dalam kesendirianya dan pernikahan itu sekaligus memenuhi tuntutan firman Allah kepada manusia untuk “Beranak cucu dan bertambah banyak ; lalu memenuhi bumi dan menaklukkannya, yang berkuasa atas ikan – ikan di laut dan burung – burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”(Kej 1 : 28) [3].

PERNIKAHAN ADALAH RENCANA ALLAH

Pernikahan itu sendiri adalah rencana Allah dan melembagakannya sebagai suatu penyatuan yang kudus (Kej 2 : 22). Penyatuan itu menjadi sejarah yang pertama dimana Allah mengumumkan penyatuan antara laki – laki dan perempuan dalam hubungan suami dan istri  serta menjadi prinsip dasar dari sebuah ikatan pernikahan. Adam yang tercipta merasakan bahwa ada yang tidak lengkap dalam dirinya sendiri, Allah mengetahui itu dan oleh itu Allah menciptakan Hawa sebagai pelengkap di dalam kehidupan Adam dan penciptaan Hawa juga adalah sekaligus menggenapkan kemampuan persahabatan manusiawi (Kej 2 : 18 – 22 Bd. Mat 19 : 5 – 6 ; Mrk 10 : 7 – 8 ; 19 : 9). Adam yang dipertemukan dengan Hawa akhirnya memiliki persahabatan  manusiawinya dan persahaban tersebut semakin kuat dan menjadi hubungan yang eksklusif di dalam ikatan pernikahan (Kej 2 : 24). Hubungan pernikahan itu juga semakin intim dan itu adalah hubungan yang paling intim dari segala hubungan manusia dimana laki – laki dan perempuan itu menjadi satu daging (kej 2 : 24 ; I Kor 6 : 16) dan oleh itu, tidak boleh ada pesaing yang ditoleransi untuk merusak hubungan tersebut, karena sifat dari hubungan itu sendiri seumur hidup (Mat 19 : 6 : Mrk 10 : 9).[4]

MENJADI SUAMI ISTRI

Suami adalah seorang yang identitasnya bergubungan dengan seorang istri dan Adam adalah prototype seorang suami dari seluruh umat manusia. Alkitab juga memberikan kepada kita contoh seorang suami yang juga patut menjadi teladan bagi setiap suami saat ini. Dalam uraian ini hanya akan dikisahkan tentang dua orang suami yang layak mendapat sebutan sebagai seorang suami yang ideal yaitu Boas dan Yusuf, dalam gambaran suami ideal itu, Boas dilukiskan sebagai seorang suami yang saleh, seorang petani yang makmur, seorang yang lemah lembut, murah hati, sangat menghargai Rut sebagai seorang perempuan yang baik, menjadikan dirinya penebus bagi Rut dengan bertindak tegas melindungi kehormatan Rut dan bertanggungjawab menyediakan segala kebutuhan materi yang dibutuhkann oleh Rut dan ibu mertuanya (Rut 3). Alkitab juga memberikan gambaran yang serupa tentang Yusuf sebagai suami ideal yang menjadi suami Maria ibunya Yesus. Diceritakan Yusuf sangat mengasihi Maria dengan tulus hati, sehingga Yusuf tidak mau mencemarkan nama baik Maria dan dengan tindakan yang sangat bijaksana dan berani, Yusuf mengambil semua perannya sebagai seorang suami untuk menyertai dan mengarungi kehidupan sebagai seorang suami yang bertanggungjawab terhadap istrinya Maria (Mat 1 : 19)[5].

Sama seperti yang di gambarkan Boas dan Yusuf, demikianlah seorang suami harus mengambil perannya sebagai seorang suami yang dilakukan atas ketaatan kepada hukum kasih Tuhan (Mzm 131 ; Ams 8 – 9 ; Yer 2 : 2 ;Yes 66 :13). Adapun peran yang harus ada pada diri seorang suami, maka pada level jasmani,Adam adalah penyedia substansi bagi seluruh kehidupan istrinya Hawa. Di dalam PB hal itu disebut sebagai kesadaran akan komitmen moral sebagai seorang suami untuk memenuhi seluruh yang diperlukan oleh istrinya (Kej 2 : 18 – 24 ; Bd : 1 Kor 7 : 1 – 7 ; 2 Kor 6 : 16 ; Ef 5 : 15 – 19, 25, 33 ; Kol 3 : 18). Peran seorang suami juga digambarkan secara explisit bahwa seorang suami adalah kepala bagi istrinya dan istri harus tunduk dalam segala sesuatu terhadap suaminya (Ef 5 : 23 – 24 ; Bd. 1 Kor 11 : 3 ; 14 : 34 ; Kol 3 : 18 ; 1 Ptr 3 : 1 – 6 ; 1 Tim 2 : 11 – 14). Seorang suami juga harus memperlihatkan kepemimpinanya sebagai seorang pemimpin di dalam peribadahan (1 Kor 14 : 34 – 35). Merawat istri juga adalah kebajikan yang harus dilakukan oleh seorang suami (Bd. Mal 2 : 13 – 16 ; Ef 5 : 29), dengan lemah lembut menyertainya di dalam setiap pencobaan (Kol 3 : 19) dan sebagai suami yang baik seorang suami harus selalu hidup secara bijaksana kepada istrinya sebagai kaum yang lebih lemah, sehingga tidak pernah ada pemakaian otoritas yang berkelebihan (1 Ptr 3 : 7 ).[6]

Alkitab menjelaskan peran yang mendasar dari seorang istri adalah mendampingi dan menemani suaminya sama seperti peran mendasar seorang suami terhadap istrinya dan hal itu yang terlihat di dalam diri Hawa sebagai seorang istri dan peran itu disimpulkan ketika Hawa yang dijadikan dari tulang rusuk Adam (Kej 2 : 21 – 25). Hawa di peruntukkan untuk “seorang penolong yang sepadan” bagi Adam yang membuat Adam sangat senang dan berbahagia, karena Adam sendiri merasakan dirinya memang tidaklah lengkap tanpa kehadiran Hawa, sehingga dengan sangat antusias dalam pernyatannya Adam memberikan pujian kepada Hawa dengan berkata “inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” dan perkataan itu sekaligus memberikan gambaran kesatuan identitas yang mendasar dari hubungan suami dan istri (Kej 2 ; 20 ; 23 : 23 – 24). Dalam hal lain kesatuan itu  juga menunjuk kepada frasa akan kesatuan sexual (Kej 2 : 24 ; bd. Amsal 5 : 15 – 19). Dalam kaitan ini Paulus juga menyinggungnya dengan berkata bahwa suami – istri harus bertanggungjawab memenuhi kebutuhan sexualnya secara bersama (1 Kor 1 : 16 ; 7 : 1 – 7). Tuhan juga memberikan mandate kepada manusia ciptaanNYa untuk berkuasa atas tatanan yang telah  Ia ditetapkan yaitu untuk menguasai dan memenuhi bumi, maka oleh itu seorang istri juga harus memaknai perannya untuk melahirkann anak – anak bagi di dalam keluarganya (Kej 1 : 26 – 28 ; 3 : 16). Dalam membina kehidupan keluarga seorang istri juga harus memberikan kebajikan di dalam seluruh hidupnya dan kebajikannya itulah yang akan menjadi keuntungan yang nyata bagi suami dan anak – anaknya, karena puncak pujian terbaik bagi seorang istri adalah ketika pujian itu datang dari suami dan anak – anaknya (Amsal 31).[7]

MENJADI SUAMI – ISTRI YANG BERKOMITMENT

Tidak ada gambaran yang lebih indah seperti yang di gambarkan Alkitab tentang hubungan suami – istri, bahkan tidak ada satupun ilmu filsafat atau kebudayaan apapun yang dapat menggambarkan keagungan, kemulian yang diberikan Allah kepada manusia ciptaanNya itu. Oleh itu Allah juga menetapkan perintahnya terhadap manusia bahwa gambar dan teladanNya itu  tersebut harus menjadi reflektor Allah dibumi, termasuk di dalam hubungan antara suami istri[8]. namun di dalam prakteknya ada banyak kegagalan suami – istri dalam membina hubungannya yang kemudian di ikuti dengan perceraian dan perceraian adalah salah satu dari sekian banyak realitas yang terjadi dalam kehidupan pernikahan dan sayangnya hal itu juga telah meracuni kehidupan keluarga – keluarga Kristen. Seharusnya pasangan suami  – istri haruslah menerima fakta pernikahan itu dan membangunnya dengan cinta kasih yang tidak berkesudahan (1 Kor. 13:1 – 13).

Di dalam kekristenan, janji suami – istri di hadapan Tuhan adalah suatu perjanjian yang bersifat sangat kudus dan janji yang mengikat seumur hidup yang di barengi dengan tanggung jawab yang sangat besar dan serius dimana suami – istri harus mengimani janji pernikahannya sebagai sikap hormatnya kepada Tuhan dan bobot dari penekanan ini juga harus mendasari ajaran gereja tentang kesetian di dalam hubungan suami – istri (Mrk 10 : 9 ; Bd. Mat 19 : 6b ; Luk 16 : 18a)[9]. Kitab Hosea menggambarkan hubungan antara Allah dan bangsa Israel ibarat hubungan suami dan istri dan yang menjadi kata kunci dalam hubungan Allah dengan umatNya itu adalah kasih setia. Demikian jugalah hubungan suami – istri harus di ikat dalam kasih dan kesetian (Hos 6 : 4 – 6). Dalam hal ini Paulus menggambarkan hubungan  itu seperti hubungan Kristus dengan jemaat-Nya. Kristus telah mengorbankan diri-Nya dan mengasihi umat-Nya tanpa pamrih, serta berjanji untuk selalu menyertai umat-Nya (Ef 5 : 28 – 30 ; 1 Kor 13 : 4 – 7). Sama seperti Yesus Kristus yang telah mengasihi umat-Nya, maka suami  – istri yang bersatu dengan Kristus adalah satu anggota tubuh Kristus (1 Kor 12 : 27), dan sama seperti komitmen total yang telah Yesus lakukan dalam kehidupan dan kematian-Nya, hendaknya juga diterapkan dalam hubungan suami – istri, yang juga berkomitmen untuk saling mengasihi dan memerhatikan pasangannya apa pun yang terjadi. Selamat berbahagia dan selamat memegang teguh komitment sebagai suami – istri yang takut akan Tuhan.

                                                                                                            Pekanbaru. Senin 04 Feb 2019

Daftar Pustaka :

Alkitab, LAI. Jl Salemba Raya12, Jakarta. Thn 2000

Andik Wijaya.MD.MRep.Med. “Sexual Holiness”. Andik Wijaya  – Yada Institute. Gramedia 2002.

Dr. J.L.Ch Abineneno. “Manusia, Suami Dan Istri”. BPK Jl. Kwitang 22 Jakarta Pusat.

Leland Ryken. James C Wilhoit. Tremper Longmab III “Kamus Gambaran Alkitab”. Momentum ChristianLiterature.

Ruth Schafer & Freshia Aprilyn Ross “Bercerai : Boleh Atau Tidak” (BPK Gunung Mulia. Jl Kwitang 22. cet ke 2 : 2013) hal, 185 – 186.

http://antoniusstevenun.blogspot.com/2013/05/pdt-stephen-tong-bahaya-perceraian.html

https://www.era.id/read/lYUMBL-fakta-di-balik-tingginya-angka-perceraian-di-indonesia

[1]http://antoniusstevenun.blogspot.com/2013/05/pdt-stephen-tong-bahaya-perceraian.html

[2]https://www.era.id/read/lYUMBL-fakta-di-balik-tingginya-angka-perceraian-di-indonesia

[3] Andik Wijaya.MD.MRep.Med. “Sexual Holiness” (Andik Wijaya  – Yada Institute. Gramedia 2002) hal, 3 – 4.

[4] Leland Ryken. James C Wilhoit. Tremper Longmab III “Kamus Gambaran Alkitab” (Momentum ChristianLiterature) Hal, 750 – 751

[5]  ibid, 750 – 751

[6] Leland Ryken. James C Wilhoit. Tremper Longmab III “Kamus Gambaran Alkitab” (Momentum ChristianLiterature) Hal,1.035 – 1.037.

[7] Leland Ryken. James C Wilhoit. Tremper Longmab III “Kamus Gambaran Alkitab” (Momentum ChristianLiterature) Hal, 420 – 433.

[8] Dr. J.L.Ch Abineneno. “Manusia, Suami Dan Istri” (BPK Jl. Kwitang 22 Jakarta Pusat) Hal, 6.

[9] Ruth Schafer & Freshia Aprilyn Ross “Bercerai : Boleh Atau Tidak” (BPK Gunung Mulia. Jl Kwitang 22. cet ke 2 : 2013) hal, 185 – 186.